MOMENTUM, Bandarlampung--Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman mengajukan uji materi Undang Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.
Pendaftaran permohonan itu disampaikan bersama anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor 2091/PAN.MK/VI/2021 pada Rabu (23-6-2021).
Kuasa hukum pemohon, Fauzi Heri mengatakan, permohonoan uji materi disampaikan karena para anggota KPU periode 2017-2022 itu telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat final dan mengikat. Seperti dimaksud dalam pasal 458 ayat 13 UU pemilu tersebut.
Fauzi Heri menuturkan, sifat putusan DKPP itu telah nyata-nyata merugikan hak konstitusional para pemohon untuk mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.
"Dengan keberadaan pasal itu, hak para pemohon untuk melakukan upaya hukum di pengadilan terhalangi. Kami akan buktikan dengan 73 alat bukti yang sudah kami bawa," ujar Fauzi yang didampingi Juendi Leksa Utama saat sedang di gedung Mahkamah Konstitusi.
Fauzi menjelaskan, tahun 2013 telah ada Putusan MKRI Nomor 31/2013 sebagaimana didalilkan dalam halaman 73 yang menyatakan, untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut.
Dia melanjutkan, MK perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak tepat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya DKPP adalah perangkat internal penyelenggara pemilu yang diberi wewenang oleh UU.
Untuk itu, sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.
Adapun Keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN. Apakah Peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali Putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan Presiden, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah kewenangan Peradilan TUN.
"DKPP bukanlah badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," papar mantan ketua KPU Kota Bandarlampung ini melalui rilis yang diterima harianmomentum.com, Rabu (23-6).
Fauzi menyebutkan, para pemohon merasakan keresahan dan ketakutan selama melaksanakan tugas sebagai penyelenggara pemilu karena dibayangi tindakan sewenang-wenang oleh DKPP yang memiliki kekuasaan absolut dalam memberikan sanksi dan memberikan predikat pelanggar etika bagi seluruh penyelenggara pemilu.
Hal itu juga dirasakan oleh para penyelenggara pemilu lainnya dari pusat hingga daerah, di mana DKPP dengan sifat putusannya yang final dan mengikat telah menjelma sebagai lembaga yang menjadi momok menakutkan bagi penyelenggara pemilu.
Bahwa dengan keberadaan sifat final dan mengikat putusan DKPP, tugas penyelenggaraan pemilu yang diemban oleh Para Pemohon termasuk di dalamnya tugas untuk melakukan koordinasi, supervisi, dan arahan kepada KPU di daerah menjadi terkendala. KPU daerah yang secara hierarkis merupakan bawahan dari KPU, lebih mendengarkan arahan DKPP karena takut mendapatkan sanksi daripada mengikuti arahan KPU yang notabene adalah atasannya langsung.
Diketahui kerugian konstitusional para pemohon, yaitu Evi pernah diberhentikan oleh DKPP dalam putusan Nomor 317-PKEDKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020.
"Meskipun ibu Evi menang di PTUN. Namun DKPP tetap tidak mengakuinya sebagai anggota KPU. Secara tidak langsung mereka ingin mengatakan pengadilan tidak bisa mengoreksi putusannya," papar Fauzi.
Sedangkan Arief Budiman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua KPU atas laporan mendampingi Evi saat mendaftarkan gugatan di PTUN Jakarta untuk melakukan upaya hukum.
"Apa yang salah dengan tindakan melakukan upaya hukum ke pengadilan dalam rangka mencari keadilan. Itu-kan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi dan oleh karena itu, tindakan pak arief tidaklah tepat jika dinyatakan merupakan pelanggaran kode etik," tutupnya.
Permohonan Pengujian khusus pada ketentuan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.(**)
Laporan: Ira Widya
Editor: Agus Setyawan
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com