Harianmomentum.com--Sejumlah kalangan mengkritik wacana menjual anak perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkah tersebut dinilai akan memperlemah kiprah perusahaan pelat merah.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengaku waswas
dengan terus berkembangnya wacana untuk menjual anak perusahaan milik BUMN.
"Saya sangat khawatir dan waswas dengan wacana yang
terus berkembang. Karena menjual BUMN itu akan mengecilkan (peran)
BUMN," kata Said seperti
dilansir Rakyat Merdeka,
pada akhir pekan.
Pertama, sektor perkebunan. Menurut Said, izin pengelolaan
lahan yang dimiliki BUMN hanya 756.000 hektare (ha) kok atau hanya sekitar 6,52
persen. Sementara, ada 5 konglomerat besar yang bermain di perkebunan sawit
dengan menguasai lahan mencapai 11,6 juta hektare.
Kedua, sektor pertambangan, BUMN hanya kebagian 6 persen
sisanya dikuasai konglomerat. Ketiga, sektor perbankan, aset BUMN hanya Rp
2.400 triliun atau 24 persen dari seluruh aset perbankan nasional yang mencapai
Rp 11.100 triliun.
Kelima, sektor transportasi udara, BUMN hanya menguasai 39
persen dari jumlah pangsa pasar. Keenam, sektor kelistrikan, PLN hanya
menguasai 31 persen dan sisanya dikuasai swasta. Ketujuh, sektor perminyakan,
hanya 31 persen milik BUMN. Dan kedelapan sektor infrastruktur, pembangunan
real estate 70 persen didominasi swasta.
"Kenapa kita meributkan peran BUMN. Kenapa kita nggak
ributkan sektor-sektor yang didominasi konglomerat," cetusnya.
Said curiga ada upaya sistematis untuk melemahkan BUMN di balik
berkembangnya wacana menjual perusahaan pelat merah.
Dia memproyeksi BUMN akan jatuh ke tangan asing atau kaki
tangannya jika sampai benar-benar dijual.
"Setiap ada kabar penjualan BUMN, pasti asing
menyampaikan tertarik mau membelinya. Kalaupun ada orang lokal, dananya juga
pasti milik asing. Apa kita mau seluruh BUMN akhirnya milik asing?"
katanya.
Said menambahkan, penjualan BUMN harus menjadi opsi paling
akhir jika terdapat persoalan pada perusahaan pelat merah. Sebelumnya harus
dilakukan upaya-upaya lain dulu untuk pembenahan. Banyak opsi yang bisa
ditempuh seperti melakukan revitalisasi, restrukturisasi, merger, dan
akuisisi. Jika semua gagal barulah, likuidasi atau penjualan.
Ekonom Institute For Development of
Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga menolak rencana melego
BUMN. "Kalau pun alasannya karena terlalu dominan, solusinya harusnya
mendorong bagaimana BUMN bisa meningkatkan kerja sama dengan swasta,"
ungkapnya.
Dia menduga, pemerintah mau melepas BUMN karena tengah
kesulitan dalam membayar bunga dan cicilan pokok utang. Akhirnya memilih jalan
pintas, mau jual BUMN. "Ini polanya persis seperti model penyelamatan
keuangan negara saat krisis ekonomi 1998-2001. Saat itu BUMN yang merupakan
aset strategis terpaksa dilego murah demi menutup defisit APBN," ujarnya.
Seperti diketahui, wacana menjual BUMN bak gayung bersambut.
Ide menjual BUMN disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Panjaitan
kepada Presiden Jokowi, belum lama ini. Selain opsi menjual, Luhut juga
mengusulkan opsi merger.
Menurut Luhut, jumlah BUMN dan anak usahanya sangat banyak
mencapai 800 perusahaan. Hal tersebut dinilainya tidak sehat karena terlalu
mendominasi ekonomi dalam negeri. Usulan Luhut mendapatkan sambutan positif
pelaku usaha.
Ketua Umum Kamar dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan
Roeslani memaparkan sejumlah contoh bukti dominasi BUMN dalam sejumlah proyek
pada kesempatan bertemu Presiden, belum lama ini.
Menanggapi wacana ini, Presiden Jokowi sendiri sejalan
dengan ide Luhut. Bahkan, dia mengaku sudah memerintahkan Kementerian BUMN
untuk melakukan merger, bahkan jila perlu menjualnya. Hal ini, menurut Jokowi,
agar swasta mendapatkan hak yang sama melakukan aktivitas ekonomi. (rmol)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com