Ada Duka Dibalik Pesta

Tanggal 03 Apr 2022 - Laporan ANDI S PANJAITAN - 769 Views

MOMENTUM-- Belum lama ini, aku menghadiri resepsi pernihakan kerabat. Pestanya begitu megah. Makanan mewah terhidang di meja prasmanan. 

Ada rendang, ayam suwir, petisan, karedok, sop, kerupuk dan masih banyak yang lainnya.   

Di tempat lain, juga tersedia beragam jajanan. Seperti tekwan, es krim, kue basah dan lainnya.

Para tamu undangan tampak menikmati menu makanan yang tersaji. Akibat kekenyangan, aku mencari toilet untuk membuang hajat.

Ketika akan kembali ke tempat duduk, aku menyaksikan buruh pencuci piring sedang tersedu di hadapan piring kotor yang berserakan. Karena penasaran, aku bertanya kenapa dia menangis? 

Tanpa melihat wajahku, dia mengutarakan rasa kesedihannya. Apakah anda tidak melihat betapa banyaknya makanan yang terbuang ini?

Ini akibat keserakahan para tamu undangan. Coba kalau mereka mengambil makanan secukupnya. Tidak akan ada makanan yang tersisa.

Apakah mereka tau, begitu banyak orang yang kesusahan hanya untuk sekedar makan. Tapi mereka justru membuang- buang makanan. Dia berkata sembari memasukkan sisa makanan di piring ke dalam karung. 

 Aku yang terhenyak mendengarnya langsung pergi meninggalkan lokasi pencucian piring. Tidak bisa membantah perkataan si pencuci piring. Duduk kembali di tengah riuhnya suasana pesta. 

Dalam hati, aku kemudian sadar bahwa yang dikatakan sepasang suami istri pencuci piring tadi ada benarnya. 

Disaat ratusan juta orang kelaparan di dunia, kita terkadang masih membuang makanan tanpa dosa.

Disadari atau tidak, perbuatan tidak terpuji mengambil makanan secara berlebihan selalu terjadi disaat pesta. 

Acapkali para tamu undangan mengambil makanan seenaknya, tidak mengukur kapasitas perut. Akibatnya, beragam menu makanan mewah kerap terbuang di pencucian piring.

Kondisi itu terjadi karena sikap tamak (serakah) kita. Meski tidak semua, tapi mayoritas berbuat demikian.

Biasanya cukup sopotong rendang, tetapi dia malah mengambil dua hingga tiga potong. Ditambah lagi menu lainnya. Sehingga banyak tersisa makanan.

Sementara, seorang buruh pencuci piring (upahan) harus ikhlas mengelus dada melihat peringai orang- orang yang tidak peduli akan nasib yang dideritanya. 

Bayangkan, untuk membiayai keluarganya di rumah, dia rela mencuci sisa makanan orang. Betapa nista bukan? 

Tapi itulah kenyataan yang harus ditanggungnya. Demi anak istri, demi orang yang dicintai, dia rela melakukan pekerjaan apapun.

Disatu sisi, dia dan keluarga selalu berhemat untuk sekedar makan di rumah. Bahkan, tak jarang karena serba terbatas, jadwal makan-pun terpaksa dikurangi menjadi dua kali sehari (dari tiga kebiasaan normal).

Disisi lain para tamu undangan tidak sadar membuang makanan ’nikmat’ yang belum tentu dirasakan si pencuci piring satu kali dalam sebulan, bahkan setahun.

Mungkin, jika semua umat muslim di dunia memenuhi kewajibannya (membayar zakat mall dan menyantuni pakir miskin), tidak akan ada lagi rakyat yang menderita kelaparan.

Tidak ada lagi pengemis berkeliaran, juga tidak terdengar jeritan rakyat yang tertindas karena kemiskinan.

Lantas, masihkah kita mengabaikan nasib pakir-miskin?  Tabikpun. (**)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Yus Bariah, Tidak Bersalah ...

MOMENTUM -- Di pengadilan, ada sebutan hakim nonpalu. Yaitu, peng ...


Ingat, Pers Bukan Alat! ...

MOMENTUM--Belakangan, Lampung sedang dihebohkan dengan dugaan kor ...


Pilkada Koko ...

MOMENTUM -- Pada tahun ini, seluruh daerah di Indonesia akan memi ...


Gerakan Koko di Tubaba ...

MOMENTUM -- Pelaksanaan pencoblosan pilkada serentak berlangung p ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com