Perppu Cipta Kerja dan Kebutuhan Reformasi Regulasi

Tanggal 03 Apr 2023 - Laporan - 1993 Views
Dimas Pamungkas.

MOMENTUM, Bandarlampung--Segelintir orang meletakan hukum pada menara gading. Serupa labirin bagi para penguasa untuk memutuskan kehendaknya. Sekiranya begitu kalimat pembuka pada essay ini. 

Beberapa pekan belakangan, publik memuat obrolan seputar kebijakan publik. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja salah satunya.

Kontroversial. Ia satu dari sekian banyak persoalan yang disinggung. Sederhana yang saya ketahui, bila kebijakan membuat kehidupan semakin merosot, publik akan mengkritisi atau menurunkan kepercayaan pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum. 

Berdasarkan survei Litbang Kompas, kepercayaan publik terhadap Joko Widodo dan Ma'ruf Amin pada aspek hukum dan ekonomi berada paling rendah. Pada periode Oktober 2022, kepercayaan publik terhadap hukum turun hingga menyentuh angka 51,5 persen. Artinya, pada aspek ini mengalami penurunan terdalam dari 57,5 persen pada Juni 2022 menjadi 51,5 persen. Tentunya kehadiran Perppu dan pengesahan akan membuat persepsi ketidakpercayaan publik semakin meningkat. 

Pada 30 Desember 2022, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Perang Rusia dan Ukraina, kepastian hukum bagi investasi, serta kegentingan memaksa menjadi acuan dalam menerbitkan Perppu. Pernyataan begitu menohok dikeluarkan oleh Mahfud MD, selaku Menkopolhukam, yang berpendapat bahwa keadaan mendesak adalah subjektif presiden. Alasan lainnya dikeluarkan oleh Airlangga Hartanto, Menko Perekonomian, yang menyatakan bahwa penerbitan dalam rangka mengantisipasi kondisi global terkait ekonomi dan geopolitik. 

Sedikit meminjam kalimat Bivitri Susanti dalam kanal berita Kompas.com pada 03 Januari 2023, yaitu "Tidak bisa subjektivitas presiden dijadikan dasar dalam bertindak, itu jadinya seperti titah raja, bukan seperti dalam negara hukum". Begitu pernyataannya merespon penerbitan Perppu oleh Presiden Jokowi. Saya mengangguk begitu mendapati berita tersebut. Menandakan pemahaman saya yang masih terbatas bersepakat dengan argumennya. 

Dalam hal ini saya melampirkan pandangan saya yang mendukung pernyataan bahwa Presiden bukan seperti titah raja. Dapat kita ketahui, berbagai negara, termasuk Indonesia, mencampurkan antara Separation of Law dan Check and Balance. UUD 1945 menggambarkan antara tiga kekuasaan pemerintah serta alokasi kekuasaan pada suatu lembaga khusus. Lalu, partisipasi publik, pembahasan undang-undang, sampai Judicial Review adalah cerminan dari Check and Balance. 

Dalam sistem presidensil, hubungan eksekutif dan legislatif cenderung konfrontatif. UUD 1945 pasca amandemen memberikan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupa pertimbangan dan persetujuan. Namun, dalam mensiasati hal tersebut, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk menciptakan stabilitas a quo. Hal yang membuat jutaan pasang mata terbelalak disuguhkan istilah bagi-bagi kursi. Melihat situasi ini, Presiden bukan hanya episentrum eksekutif, namun juga menjelma pengendali suara pada lembaga legislatif. 

Presiden memiliki hak preogatif, namun bukan berarti dapat menafsirkan secara subjektif. MK dalam Putusan No.138/PUU-VII/2009 memberikan acuan bagi Presiden terkait kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang undang. Kedua, terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang secara prosedural biasa karena akan membutuhkan waktu lama. 

Menurut Marida Farida, Guru Besar Ilmu Perundangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam bukunya Ilmu Perundangan, menyatakan jika Perppu memiliki level setingkat dan sejajar. Lalu, ia bersifat sementara dan mendesak. Kegentingan memaksa membuat pemerintah harus mengambil langkah cepat. 

Dalam pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP), menyatakan bahwa Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Namun, sampai pada akhir februari 2023, DPR sudah menggelar rapat paripurna sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 10 Januari, 7 Februari, dan 16 Februari 2023. Selama proses rapat tersebut, belum ada sama sekali pembahasan menyoal Perpu Cipta Kerja. 

Menurut Fitra Asil (2018), makna kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum, pertama yaitu dibutuhkan penilaian yang cukup mengenai makna kekosongan hukum. Kedua, penjelasan presiden tentang proses legislasi biasa dianggap tidak bisa dilakukan karena alasan waktu. Ketiga potensi ini setidaknya harus dapat dijelaskan dengan tegas oleh presiden dihadapan DPR. 

Di sisi lain, kita mesti menghormati Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, legislasi memiliki sejarah panjang. Mulai dari Marbury versus Madison sampai pengembangan peradilan konstitusional oleh Kelsen di Austria. Melalui amandemen ketiga UUD NRI 1945, Indonesia mengadopsi saat proses transisi politik pada tahun 2001. Kehadiran MK dalam proses transisi adalah rekontruksi kebutuhan atas demokrasi. MK adalah upaya menegakan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi perlindungan dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM). 

Polemik ini tidak terlepas dari Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tentang pembatalan secara formil UU Cipta Kerja. Salah satu indikator pembatalannya adalah belum adanya asas keterbukaan dan partisipasi. Rupanya judicial review menimbulkan prudential (kehati-hatian) supaya lembaga yang ada tidak mengabaikan konstitusi dalam proses pembentukan kebijakan. Dalam hal ini, MK memberikan waktu maksimal dua tahun untuk proses legislasi. Alih-alih memahami substansi putusan MK, Presiden dam DPR merespon dengan melakukan revisi UU 12/11 mejadi UU 13/22 dan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. 

Berbagai persoalan hukum yang dihadapi berkutat seputar simplifikasi kebijakan, sinkronisasi program dan legislasi, hirarki perundangan, sampai perbaikan regulasi. Hal ini merupakan tantangan Indonesia ke depan. Dapat kita ketahui, bahwa pembentukan perundangan bukan hanya hubungan legislatif-eksekutif, namun melibatkan partisipasi publik. 

Spanyol misalnya, perubahan kebijakan dilakukan dengan spesial konvensi oleh komisi khusus. Namun tetap dalam upaya perlindungan terhadap warga negara. Hal ini mampu meminimalisir kebijakan agar tidak bias pada a quo. 

Lebih lanjut, Belanda memiliki Administrative Board for Administrative Burdens untuk melakukan managemen serta evaluasi dan monitoring terhadap aturan kebijakan. Hal ini adalah kegentingan yang semestinya harus disegerakan oleh Presiden. 

Reformasi regulasi dubutuhkan dalam rangka perbaikan legislasi dan meningkatkan kualitas hukum di Indonesia. Membuat hubungan yang selaras antara pembangunan dan proses legislasi. Saya berpendapat dan menyepakati bila ada penguatan lembaga dan pembentukan komisi yang menangani secara khusus mengenai kebijakan publik yang terpusat. Melakukan peninjauan dan evaluasi secara berkala. Memiliki rencana program yang jelas dalam jangka pendek dan jangka panjang. Tentunya dapat disesuaikan dengan rancangan program yang sudah ada.(**)

Oleh: Dimas Pamungkas, penulis adalah eks Sekjend Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi - Dewan Nasional (LMNDDN).

Editor: Agus Setyawan


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com