MOMENTUM-- Belum lama ini aku mudik ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Tepatnya di Kelurahan Guntingsaga, Kecamatan Kualuh Selatan, Labuhanbatu Utara (Labura).
Memanfaatkan waktu liburan anak sekolah. Sekaligus melihat emak di kampung yang kondisinya kurang sehat.
Pelukan hangat dan ciuman sayang langsung kurasakan, begitu sampai di depan rumah. Ayah dan emak ternyata sudah menanti kedatangan kami: anak, menantu dan para cucunya.
Tangis bahagia pun tak mampu mereka bendung. Terutama saat melihat kehadiran cucu bungsunya: Celina Arisha Chandani Panjaitan.
Ya, malam itu adalah momen pertama mereka bertemu langsung. Karena sejak Celina lahir hingga berusia sepuluh bulan, hanya berinteraksi melalui sambungan video call (VC).
Melihat suasana haru itu, rasa lelah mengendarai mobil sejauh 1.455 Kilometer (Km) langsung terobati. Ada kepuasan tersendiri yang sulit diungkapkan.
Hari- hari penuh bahagia terpancar dari wajak emak. Ada semanagat baru dalam dirinya. Keinginannya untuk sembuh semakin kuat melihat kehadiran kami.
Sayang, kebahagiaan itu harus terjeda kembali. Jumat 22 Desember saya mendapat panggilan telepon dari Lampung.
Inti pembicaraan singkat itu, saya diminta pulang ke Kota Bandarlampung paling lambat Rabu, 27 Desember 2023. Sebab, Kamis paginya saya harus hadir langsung dalam suatu agenda. Tidak boleh berwakil.
Padahal, saat itu, masih ada beberapa agenda silaturahmi yang belum sempat terlaksana di kampung. Tapi, apa hendak dikata. Meski berat hati meninggalkan orang tua, saya akhirnya memutuskan pulang. Selalu ada perpisahan dalam pertemuan.
Otomatis, masa liburan di kampung yang direncanakan hingga 29 Desember 2023, terpaksa berubah. Kepulanganku ke Lampung dipercepat menjadi 25 Desember.
Perjalanan panjang melintasi 1.455 Km Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) pun kembali saya lakoni. Tanpa sopir pengganti. Jika dihitung pergi dan pulang, maka total perjalanan yang ditempuh sekitar 2.910 Km.
Ini merupakan perjalanan mudik kedua tanpa sopir. Setelah sebelumnya, saya pernah melakukan hal serupa dua tahun lalu. Tepatnya medio Juni 2021.
Lelah? Itu sudah pasti. Tapi saya tidak akan pernah berhenti menaklukkan tajamnya tikungan jalan antara Provinsi Riau dan Jambi.
Banyak hal yang saya pelajari selama perjalanan. Terutama tentang Filosofi kehidupan. Belajar mengalah ketika ada kendaraan dari arah berlawanan yang mengambil jalan kita.
Belajar sabar, saat tiba- tiba ada kendaraan yang menyerobot ketika terjadi macet panjang.
Berlatih akurasi saat mendahului satu- persatu kendaraan yang jalan beriringan. Ada saatnya menginjak pedal gas, ada pula waktunya memperlambat laju kendaraan atau bahkan berhenti.
Belajar saling menghargai sesama pengemudi dengan tidak menggunakan lampu jauh, saat berpapasan di malam hari.
Juga belajar mengatur tempo. Kapan harus melewati daerah rawan dan kapan harus melintasi jalanan yang ramai.
Ya, hidup itu layaknya sebuah perjalanan. Kuncinya selalu berhati-hati dan mampu mengatur ritme. Ada kalanya harus mengalah, tapi ada saatnya harus berpacu.
Intinya, jangan mudah menyerah. Capek tinggal istirahat. Nikmati saja setiap prosesnya. Ingat, tujuan akhir bukanlah melaju dengan cepat, tetapi sampai dengan selamat.
Tabikpun. (*)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com