MOMENTUM, Bandarlampung--Giliran akademisi Lampung dari sejumlah perguruan tinggi di Provinsi Lampung menyatakan sikap terkait dengan iklim demokrasi Indonesia saat ini.
Sedikitnya ada 41 akademisi yang menyatakan sikap itu. Antara lain, Universitas Lampung (Unila), Universitas Tulang Bawang (UTB), Universitas Bandar Lampung (UBL), Universitas Saburai, Universitas Malahayati, Universitas Muhammadiyah Metro, Universitas Mitra Indonesia (Umitra). Tercatat dalam pernyataan sikap itu 41 akademisi.
Perwakilan Akademisi dari Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unila Prof. Ari Darmastuti selaku perwakilan mengatakan, alasan pihaknya melakukan pernyataan sikap didasari oleh dua pelanggaran etika yaitu pelanggaran etika MK serta pelanggaran etika KPU RI.
"Oleh karena itu, kami menyampaikan keprihatinan atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara negara," ujar Prof Ari di Fakultas Hukum Unila, Rabu (7-2-2024).
"Tidak mungkin kami melakukan gerakan ini sebelum peristiwa hukum ini terjadi. Ketua KPU dinyatakan pelanggaran etika oleh DKPP pada hari Senin kemarin, kemudian ketua MK baru bulan lalu pun begitu," imbuh profesor dibidang Ilmu Politik itu.
Ia menuturkan, dia melihat dua peristiwa tersebut sangat memprihatinkan. Sebab belum pernah terjadi pada era sebelumnya.
"Kami melihat dua peristiwa ini yang paling memprihatinkan, karena belum pernah terjadi sebelumnya di dalam pemilu masa reformasi. Kenapa kami baru bergerak? Karena selama ini belum ada pelanggaran etika yang terang-terangan dan tidak lagi tersembunyi," tuturnya.
Pasca reformasi 1998, kata Prof Ari, sejarah Indonesia tidak pernah menampilkan perpolitikan yang seperti saat ini yang menurutnya sangat amat memprihatinkan.
"Saya termasuk saksi hidup bahwa kami mengawal demokrasi dari pertama, pertanyaan kenapa setelah 25 tahun kita tidak melakukan gerakan ini ya karena tidak ada masalah yang mendasar," bebernya.
Lebih lanjut, Ari menyebutkan, bahwa eks Ketua MK Anwar Usman adalah paman calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka yang membuat putusan penuh dengan kepentingan politik.
"Bagaimana mungkin seorang paman dari ponakan saudara ipar dari seorang presiden membuat aturan, itu dari etika manapun tidak pantas dia ikut serta didalamnya. Itu bukti tidak beretika," tegasnya.
"Kami mengingatkan kepada presiden, menteri, kepala daerah, dan ASN serta kepala desa menjaga sikap benar-benar netral dalam Pemilu untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi di Indonesia," tandasnya.
Di tempat yang sama, akademisi FISIP Unila Nanang Trenggono menegaskan hal yang sama terkait gerakan itu dilakukan atas dasar dua peristiwa pelanggaran etika.
"Hari ini kami menyampaikan suara keprihatinan, ada bobot etiknya, ada bobot moralnya tetapi juga ada muatan politiknya supaya suara politik itu didengar," bebernya
"Kemudian kita tahu bahwa kenapa suara ini dilakukan sekarang tidak dari dulu, rasanya kalau dari dulu kita sudah bersuara dan sudah melaksanakan," tambah dia.
Menurutnya, isu pejabat negara bisa melakukan kampanye itu baru beberapa pekan yang lalu.
Oleh karena itu, kata Nanang, agar proses pemilihan umum itu fondasinya tidak rusak perguruan tinggi harus menyuarakan keadilan dan demokrasi.
"Kita harus kembalikan pemilu itu pada asasnya, langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," tegasnya
Terlebih lagi kata Nanang, asas jujur dan adil itu produk dari reformasi 1998, maka penting pernyataan sikap pada hari ini dilakukan.
"Pada Orde Baru itu tidak ada hanya langsung, umum, bebas, dan rahasia. Ketika reformasi ibarat permainan itu harus suportif," pungkasnya. (*)
Editor: Muhammad Furqon
E-Mail: harianmomentum@gmail.com