Harianmomentum--Kasus PT
Freeport Indonesia menjadi momentum untuk meletakkan dasar-dasar reformasi
fiskal, sehingga menjamin kesinambungan fiskal dan investasi di tanah air.
Direktur
Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo
menjelaskan, investasi menuntut integrasi kebijakan untuk menciptakan 3C
(certainty, clarity, consistency) di bidang fiskal.
Penyebabnya,
keputusan investasi bergantung pada kebijakan pro bisnis, lingkungan bisnis
kompetitif, stabilitas politik dan regulasi.
Kemudian
kejelasan dan kepastian hukum, serta kebijakan fiskal yang menjadi faktor
penentu besaran investasi dan tingkat imbal hasil.
Faktanya, terdapat beberapa disinsentif fiskal yang dirasakan industri hulu
migas dan tambang.
Salah
satu masalah utama ketiadaan ketentuan assume and discharge yang menciptakan
ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum.
"Kasus yang menarik perhatian publik saat ini adalah dinamika PT Freeport
Indonesia yang berawal pada diterbitkannya PP Nomor 1/2017. Pada prinsipnya,
investor membutuhkan jaminan kepastian akan iklim bisnis dan investasi di masa
mendatang karena akan berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar dan jangka
waktu panjang," jelas Yustinus dikutip RMOL.co, Sabtu (25/3).
Menurut dia, klausul tersebut berarti kebijakan fiskal berperan sebagai
instrumen yang mampu memberikan kepastian hukum, mendukung iklim investasi,
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan
produktivitas, Juga konsisten dan stabil, melalui administrasi yang sederhana,
mudah dilaksanakan dan murah atau cost of compliance yang efisien.
Pertimbangannya, sektor pertambangan membutuhkan investasi sangat besar dengan
jangka waktu panjang, sehingga memiliki potensi risiko yang tinggi.
Salah
satu poin penting yang menjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan
Freeport adalah klausul nail down dengan prevailing.
Pemerintah berpegang pada mandat Undang-Undang Minerba bahwa seluruh klausul
perpajakan di rezim perizinan (IUP/IUPK) adalah prevailing yaitu dinamis dan
mengikuti perubahan ketentuan yang berlaku.
Sementara
Freeport tetap meminta sistem nail down yaitu peraturan yang berlaku adalah
saat kontrak ditandatangani atau perizinan diberikan.
Yustinus menambahkan, sistem nail down juga tidak tepat jika dipahami semata-mata
sebagai keuntungan perusahaan karena tarif yang rendah, sebab dalam konteks
Kontrak Karya, perusahaan justru membayar PPh 35 persen, jauh di atas tarif
yang berlaku yaitu 25 persen.
Terhadap
jenis pungutan negara lainnya bahkan pada 2014 tercapai kesepakatan untuk
menaikkan tarif royalti dan membayar bea keluar.
"Di sisi lain, pemerintah perlu mendapat jaminan bahwa proyek yang
dijalankan menguntungkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Di titik
inilah pemerintah dan Freeport memiliki ruang negosiasi yang terbuka lebar dan
saling menguntungkan," tegasnya. (Red)
Editor: Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com