Harianmomentum--JEREMY Rifkin,
penulis buku "The Emphatic Civilization: The Race to Global Consciousness
in A World in Crisis" cukup provokatif dalam mengupas agresivitas manusia
sebagai 'creative animal”. Sebagai takaran dalam menilai provokasi pemikiran
agresivitas manusia yang rasional, maka relasi ras dan etnisitas dapat menjadi
ukuran paling jernih.
Kesadaran global tentang hubungan tersebut banyak
ditentukan oleh seberapa reguler interaksi dimaksud berlangsung. Seorang warga
keturunan misalnya dengan warga Betawi di lingkungan kediaman yang sama tidak
akan mudah menemukan empati yang diperlukan jika tidak terbangun kontak linear
tentang eksistensi mereka satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari.
Kita cukup lelah menyaksikan bangunan komunal yang diciptakan sedemikian rupa
tetapi gagal menuntaskan terbentuknya kesadaran progresif untuk menjaga ko-eksistensi
perbedaan yang hidup di tengah komunitas bersama. Sebaliknya, sikap dan respons
rasial yang berevolusi sesuai dengan kemajuan modernitas kerapkali lebih
terkebelakang daripada simpul-simpul pembangunan fisik yang telah berhasil kita
ciptakan. Pada kenyataannya, justeru kemampuan untuk memanipulasi impuls-impuls
perbedaan naratif kehidupan majemuk yang terlihat semakin tumbuh subur ditopang
oleh habitat media sosial yang sangat toxicated.
Rifkin dalam bukunya itu telah mengingatkan betapa evolusi kesadaran empati
manusia yang berjalan lamban membantu kemungkinan kepunahan ras manusia di
tengah meluasnya interpretasi baru terhadap sejarah peradaban manusia.
Interpretasi baru itu adalah ego-sentrisme kelompok-kelompok komunal baru
berdasarkan kekuasaan, pengetahuan, pemilikan, dll.
Pengelompokan seperti itu yang mendorong dominasi tertentu terhadap penguasaan
naratif tentang siapa yang pluralis, anti-kebhinekaan, nasionalis, religius,
teroris atau us versus them. Oleh karena itu, kita semua memiliki kontribusi
menentukan masa depan empati kolektif yang akan memilah siapa yang masuk dalam
kelompok kita dan siapa dikategorikan berada pada kelompok mereka.
Saat ini, masyarakat kita cenderung dikondisikan untuk menemukan dirinya pada
level kemampuan merengkuh empati hanya berdasarkan kedekatan kultural dan
geografis daripada kebutuhan universalitas nilai-nilai humanisme yang mungkin
punya problematikanya sendiri-sendiri. Kita sepertinya perlu menata cara
pandang lebih adaptif terhadap kelenturan untuk menerima perbedaan dengan cara
menghadapinya secara langsung. Perbedaan tidak boleh dimatikan atau
diseragamkan karena itu mengingkari kodrat kemanusiaan serta membuat empati
in-group feeling mudah terbakar menjadi antipati.
Pantang untuk mengunci empati di sebuah kotak tersendiri karena itu hanya
mempersempit ruang interaksi yang diperlukan dalam komunitas heterogen. Bahkan
implikasi yang paling mungkin terjadi adalah munculnya sinisterisme dan
phobiasme terhadap peran agama sebagai salah satu alternatif yang terbuka
menyuarakan nilai-nilai empati global. Karena tak ada agama yang mengajarkan
keburukan. Semua memburu kebajikan.
Setiap sisi kontras peradaban harus dihadapi juga secara beradab. Kita boleh
menghadapi multiple crisis yang menguras empati sebagai homo sapiens, tetapi
kesadaran kolektif tentang co-existence jangan sampai tertelan oleh akselerasi
kekuatan global yang demikian cepat dan kompleks. Segala bentuk kesadaran
rasional maupun faith-based orientation harus bersatu melawan penyempitan
empati berdasarkan kelompok yang akan sangat poisonous bagi peradaban puncak
manusia (adiluhung)
Kesadaran kolektif tersebut penting untuk menavigasi dunia yang mulai terlihat
berada di luar kontrol dan jangkauan humanisme bersama. Konflik, pertikaian, hoax,
dominasi penguasaan, infiltrasi, abusive democracy, dll telah menyingkirkan
kebutuhan membangun pengujian-pengujian rasional terhadap seluruh model
interaksi yang diperlukan dalam memelihara empati peradaban tersebut.
Anda tidak mungkin kredibel atau reliable berbicara tentang kebhinekaan jika
pagar atau tembok kediaman Anda masih lebih tinggi dari tetangga sebelah. Anda
tidak elok berteriak kebersamaan jika masih terpaku meninggikan supremasi
kelompok masing-masing. Bahkan Anda tidak pantas mengklaim pro-NKRI jika Anda
tidak dapat menjaga lidah dan perbuatan Anda sendiri yang nyinyir terhadap
mereka yang gigih memperjuangkan prinsip itu hanya karena mereka tidak berasal
dari firkah Anda.
Namun terlepas dari seluruh anomali itu, seperti dikhawatirkan Jeremy Rifkin,
ketika empati kemanusiaan mulai bisa menapak jalannya akibat krisis demi krisis
yang dihadapi, ras manusia telah menemukan dirinya di ujung kemusnahan.
Artinya, jangan sampai kesadaran empati kolektif baru dapat tumbuh baik ketika
kita justeru telah berada di ujung keambrukan. Bagi Jeremy Rifkin, kondisi itu
memang terasa naas karena menurutnya manusia memang tidak akan menemukan
kesadaran empati kolektifnya kalau tidak ada kematian. Istilahnya, sesal
kemudian tak berguna! (twitter@eMtedir). [Muhammad Takdir/RMOL]
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com