MOMENTUM, Bandarlampung--Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandarlampung mendesak Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) setempat bersikap tegas terhadap wajib pajak (WP) yang membangkang.
Terlebih, jika ada pengusaha yang menyetorkan kewajibannya (pajak) tidak sesuai dengan ketentuan. Karena itu bisa dikategorikan penggelapan pajak.
Hal itu ditegaskan Anggota Fraksi Golkar DPRD Bandarlampung Benny HN Mansyur kepada harianmomentum.com, Selasa (17-9-2019).
Menurut dia, dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 tahun 2017 perubahan atas perda nomor 1 tahun 2011 tentang pajak daerah sudah tertulis jelas, pajak hiburan 40 persen.
“Jadi, jika ada pemilik tempat hiburan menyetorkan pajak kurang dari ketentuan itu bisa dikategorikan pidana,” jelasnya.
Baca juga: Novotel Tepis Dugaan Penyimpangan Pajak
Benny mengatakan, pasal 124 ayat 2 dalam Perda pajak disebutkan setiap WP yang sengaja melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
“Nah, dalam perda sudah jelas aturan mainnya, tinggal kita tunggu apakah BPPRD berani menerapkannya?” kata Benny.
Jika BPPRD membiarkan adanya ketidaksesuaian setoran pajak tersebut, dikhawatirkan berimbas terhadap WP lainnya dan berdampak buruk terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Baca juga: Pajak Hiburan di Bandarlampung Diduga Bocor
Hal senada disampaikan Yuhadi, anggota DPRD Bandarlampung lainnya. Menurut dia masalah dugaan kebocoran pajak hiburan merupakan persoalan serius karena potensi PAD dari sektor ini cukup besar.
“Tapi, kalau masih ada dugaan yang bermain baik oknum petugas atau pejabat Pemkot dan pengusaha hiburan yang bermain, maka aparat penegak hukum termasuk KPK harus turun mengusutnya,” kata Yuhadi, kemarin.
Menurut Yuhadi, KPK beberapa waktu lalu pernah melakukan supervisi ke Pemkot Bandarlampung. Tapi nyatanya masih ada dugaan kebocoran pajak.
“Jadi sekali lagi kami minta penegak hukum turun tangan mengusut pajak hiburan Bandarlampung,” pungkas Yuhadi.
Kepala bidang (Kabid) Pajak BPPRD Bandarlampung Andre mengatakan Novotel dan Masterpiece Karaoke memang selalu membayar pajak tidak sesuai dengan ketentuan (di bawah 40 persen).
Alasannya, mereka memisahkan pajak makanan dan minuman dengan pajak room karaoke sehingga terdapat selisih pajak yang cukup signifikan.
“Seperti Novotel, mereka beralasan pengunjung karaoke mayoritas tamu hotel sehingga pajak yang dikenakan hanya sepuluh persen,” jelas Andre, Selasa (17-9-2019).
Dia mengaku, sudah beberapa kali menegur manajemen Novotel dan Masterpiece karena ketidaksesuaian pajak tersebut.
Diberitakan sebelumnya, besarnya potensi pajak hiburan di Kota Bandarlampung ternyata tidak sebanding dengan realisasi yang masuk ke kas daerah.
Hasil penelusuran harianmomentum.com, sejumlah tempat karaoke di kota ini hanya menyetor pajak rata- rata 10 sampai 15 persen dari total omzetnya perbulan.
Padahal, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 tahun 2017 tentang perubahan atas perda nomor 1 tahun 2011 tentang pajak daerah, tempat karaoke wajib membayar pajak 40 persen.
Berdasarkan data rekap transaksi (perhari) di bulan Juni 2019 yang diterima redaksi harianmomentum.com menunjukkan adanya ketidaksesuaian tersebut.
Seperti Masterpiece Karaoke misalnya, selama bulan Juni tercatat ada 1.083 transaksi dengan total omzet Rp139.070.082.
Jika mengacu perda (40 persen) seharusnya pajak yang harus disetorkan mencapai Rp55.628.032. Namun, yang tercatat di Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Bandarlampung hanya Rp13.846.431 atau terdapat selisih Rp41.781.601.
Novotel Karaoke sebanyak 1.220 transaksi dengan total omzet Rp1.343.054.905 dan pajak yang dibayarkan hanya Rp134.305.490. Seharusnya Rp537.221.962 atau terdapat selisih Rp402.916.472.(acw/ap)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com