MOMENTUM, Bandarlampung--Politik uang menjadi persoalan yang kerap terjadi di pesta demokrasi. Selama ini, berbagai kalangan terus berupaya mencari solusi atas persoalan itu. Namun tampaknya, berbagai upaya masih belum maksimal. Padahal, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 kian dekat.
Menanggapi persoalan tersebut, Pakar Hukum asal Universitas Lampung (Unila), Prof. Sunarto SH.MH mengatakan, ada beberapa cara untuk menghindari terjadinya politik uang jelang Pilkada delapan kabupaten/kota di Lampung.
Kata Prof. Sunarto, poin pertama yang harus disoroti adalah penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu), yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menurut dia, seharusnya KPU dan Bawaslu mampu menguraikan pemahaman dan pengertian TSM (terstruktur, sistematis, masif) dalam praktek penyelesaian masalah politik uang. "Mahkamah Konstitusi pun menurut saya normatif sekali pemahamannya," kata Prof. Sunarto melalui pesannya, Selasa (10-12-2019).
Selain itu, KPU dan Bawaslu harus diawasi. Sehingga kedua penyelenggara Pemilu tersebut beserta jajarannya benar-benar profesional dan amanah dalam melaksanakan tugas kepemiluan.
"Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) juga harus bekerja aktif dan lebih profesional lagi. Sebab perlu diingat, putusan tidak final, masih ada upaya banding," imbaunya.
Selanjutnya Dewan Kehormatan atau Dewan Etik harus diberi kewenangan lebih luas. "Jadi mereka tidak menunggu laporan formal saja. Artinya sekecil apapun informasi atau laporan masyarakat harus disikapi," jelasnya.
Lebih lanjut Prof. Sunarto mengatakan, selain soal penyelenggara Pemilu, yang harus disoroti juga adalah partai pengusung.
"Kemenangan memang target, tetapi etika, moralitas dan masalah hukum dan sosial harus diprioritaskan," tegasnya.
Selanjutnya tidak boleh ada mahar politik yang menjadi beban para calon kepala daerah.
"Pembelajaran politik santun, bermoral dan beretika harus sama-sama kita tanamkan kepada calon dan pemilih," jelasnya.
Menurut dia, perlu juga sanksi yang tegas antara pemberi dan penerima (buat regulasi KPU) politik uang. "Walaupun bukan uang negara, tekankan pada norma hukum KUHP kepada pelaku," ujarnya.
Menurut dia, hal itu penting. Sebab selama ini, banyak dalih bukan tim sukses yang terdaftar. "Maka selama ini Undang-undang Pemilu sulit dijangkau dan terkena pada calon. Untuk itu sanksi pidana saja regulasinya," terangnya.
Kemudian, incumbent (petahana) dan keluarganya juga harus jujur. Tidak memanfaatkan jabatan (terselubung dan nyata), memainkan program untuk pencitraan demi kepentingan mempertahankan kemenangan. "Hal ini dapat memicu pesaingnya untuk berusaha juga dengan berbagai cara," ujarnya.
Tak kalah penting, peran serta semua pihak: akademisi, penegak hukum, politisi, tokoh masyarakat, pers, pemuda, wanita, ahli agama, ahli ITE. Mereka harus sama-sama melakukan penyadaran politik yang santun dan bermartabat.
"Selain itu, KPK dengan perpanjangan tangannya dan kemampuan teknologinya harus ikut mengawasi juga. TNI dan Polri yang di BKO (bawah kendali operasi) juga wajib turut mengawal demokrasi," ucapnya.
Terakhir, Prof. Sunarto mengimbau agar para elit politik, dan petinggi-petinggi instansi terkait kepemiluan untuk saling menghargai dan tidak gila jabatan.
"Capek juga ya mikir sampai ngebul tapi dalam praktik kawan mencibir dan masih berfikir perut. Kalau petinggi masih berfikir jabatan itu adalah tuhannya, Wallahu a'lam bish-shawabi (Allah mahatahu yang sebenarnya)," tutupnya.
Mantan Ketua KPU Lampung Sepakat
Mantan Ketua KPU Provinsi Lampung Nanang Trenggono sepakat dengan gagasan yang diutarakan Prof. Sunarto. Terutama gagasan pada poin pertama, soal penyelenggara pemilu.
Menurut Nanang, selama ini KPU terus memberi masukan kepada Bawaslu dalam penyusunan Perbawaslu nomor 13 tahun 2017 tentang pelanggaran administrasi politik uang, pemberian, hadiah, yang TSM tidak lagi 'bersifat TSM kumulatif'.
"Namun bisa saja prilaku politik uang disimpulkan dengan praktik TSM alternatif," ujarnya.
Nanang melanjutkan, sesuai dengan riset tentang putusan MK dalam kurun waktu, dari 21 putusan sebagian besar (19 kasus) dinyatakan TSM kumulatif. "Namun ada dua kasus TSM alternatif di Pilkada Kabupaten Buru Selatan dan kota Tomohon," sebutnya.
Bisa saja, sambung Nanang, kewenangan menetapkan TSM alternatif diberikan kepada Bawaslu RI, jika Bawaslu Provinsi maupun kabupaten/kota belum diberikan. "Hal ini akan menerbitkan optimisme publik dan kelas menengah untuk membangun kekuatan kontrol," ungkapnya.
Selanjutnya Nanang menyambung pada pembahasan poin kedua yang diutarakan Prof. Sunarto.
Menurut Nanang, hasil riset KPK ke sejumlah calon kepala daerah yang gagal dalam LPSDK dan LPPDK, sejak pilkada 2015 hingga 2018 menunjukkan peningkatan kepatuhan calon kepala daerah dalam membuat laporan (80 persen).
"Namun, 36 persen menyatakan bahwa laporan yang dibuat tentang jumlah yang digunakan dalam kampanye jauh lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya dikeluarkan," bebernya.
Sebab, sambung Nanang, 54 persen responden menyatakan calon lain atau lawan juga mengeluarkan dana Lilkada jauh dari batasan KPU. "Nah, maka PKPU harus bisa diperbaiki lebih mengikat dan memberi sanksi," harapnya.(acw)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com