MOMENTUM, Bandarlampung--Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersama Dewan Pengupahan Provinsi Sulsel. Gubernur Sulsel menetapkan SK Gubernur Sulsel Nomor 1450/X/2019 tanggal 30 Oktober 2019 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2020 sebesar Rp3.103.800 akan efektif berlaku perl 1 Januari 2020.
Sementara itu, di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pemerintah setempat menetapkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2020 yang mengalami kenaikan sebesar Rp134.000 dibanding Tahun 2019 sebesar Rp1.571.000 menjadi Rp1.705.000 pada tahun 2020.
Kota Semarang, UMP Jawa Tengah tahun 2020 telah ditetapkan sebesar Rp1.742.000 (naik 8,51% dari UMP tahun 2019 sebesar Rp.1.605.000). Sementara di Kota Bandung, Jawa Barat, UMP Jawa Barat tahun 2020 ditetapkan sebesar Rp1.810.351,54 (naik 8,51 persen dari UMP tahun 2019 sebesar Rp1.668.373). Sedangkan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, UMP Sulawesi Tengah tahun 2020 ditetapkan sebesar Rp2.303.711 (naik 8,51 persen dari UMP tahun 2019 sebesar Rp2.123.040).
Kenaikan UMK 2020 juga terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat sebesar 8,51persen menjadi Rp2.500.000 pada 2020. Hal ini berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan yang memutuskan menaikan UMP dan UMK sebesar 8,51persen. Penetapan UMK harus berdasarkan hasil rapat bersama dengan DPK Sintang, Apindo dan asosiasi pekerja, meskipun kenaikan ini dinilai Federasi Serikat Pekerja Indonesia Kabupaten Sintang belum sesuai KHL.
Tidak mau kalah dengan Kabupaten Sintang, daerah tetangganya yaitu Kabupaten Ketapang menetapkan UMK tahun 2020 naik menjadi Rp2.860.323.6 dari sebelumnya sebesar Rp2.636.000. Kenaikan ini ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten Ketapang. Jumlah tersebut ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten Ketapang yang terdiri dari pihak pemerintah, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja. Sebelumnya sempat terjadi perubahan dalam jumlah nominal UMK yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengupahan namun hal tersebut karena sempat terjadi kekeliruan dalam perhitungannya.
Di daerah yang lainnya, besaran UMP dan UMK 2020 masih terus diperdebatkan dan menjadi polemik selama November 2020. Seperti misalnya Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kalimantan Selatan menilai besaran UMP Kalsel dari Rp2.651.781 menjadi Rp2.877.447,- dan akan berlaku per Januari 2020, tidak sesuai dengan keinginan para pekerja. Di Kota Cirebon, SPSI Kota Cirebon menilai, UMK 2020 yang diusulkan pemerintah sebesar 8,51 persen pada tahun 2020 perlu dikaji secara matang, karena formula kenaikan Upah Minimun Provinsi (UMP) yang diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 dinilai kurang tepat jika mengatur tentang kenaikan UMK. Kenaikan sekitar 8,51 persen tidaklah berimbang jika dibanding dengan kenaikan harga-harga bahan pokok. Sehingga akan berdampak pada tidak terpenuhinya kesejahteraan para pekerja, kecuali ada celah penetapan upah berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu survei pasar dan bahan pokok.
Pendapat lainnya terkait UMP dan UMK 2020 yaitu menilai perlu ada jalan tengah dalam proses memutuskan UMK 2020 dan disepakati solusi memecahkan masalah krusial karena menyangkut nasib dan hajat hidup banyak orang. Jangan sampai penentuan upah merugikan pekerja atau pelaku usaha. Dikhwatirkan jika terjadi gejolak usaha maka pengusaha hengkang dari Tangerang Selatan dan memindahkan usahanya ke wilayah lain. Sementara, di kalangan pengusaha berpendapat jika UMK naik terlalu tinggi maka yang paling terdampak adalah industri padat karya, seperti industri sepatu, alas kaki, makanan minuman, tekstil, boneka, furniture. Jika tidak diperhatikan maka khawatirnya akan bangkrut dan melakukan PHK. Besaran UMK yang diajukan Rp4.100.000 dianggap dapat memberatkan para pengusaha. Industri yang kondisinya sudah merah dan kemungkinan akan tutup jika tidak ada upaya kajian yang lebih komprehensif.
Sejumlah pemerintah daerah berusaha menetapkan aturan untuk pihak swasta menjalankan besaran UMP/UMK 2020 seperti yang telah ditetapkan, namun sikap pemerintah daerah cukup berbeda-beda, terlihat dari sikap Pemda Bandung Barat yang menyatakan semua perusahaan yang ada di Kab Bandung Barat harus mengikuti aturan terkait adanya kenaikan UMK sebasar 8,51 persen. Perusahaan yang tidak bisa membayar karyawan sesuai UMK pasti mendapatkan sanksi yang akan diberikan oleh Pengawas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat dan kalau tidak bisa memberikan sanksi karena posisinya Disnaker hanya memberikan pembinaan dengan cara melihat dulu kondisi perusahaannya. UMK KBB diprediksi akan mengalami kenaikan menjadi Rp3.145.428.88 pada 2020. Sementara, di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pemerintah setempat menetapkan UMP 2020 sebesar Rp2.877.448, seluruh perusahaan yang beroperasi di Kalsel wajib menerapkan upah tersebut pada Januari 2020. Namun, apabila ada perusahaan yang belum mampu menerapkan upah tersebut, dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor : 231 Tahun 2003, diberikan kelonggaran yaitu perusahaan dapat meminta penangguhan dengan syarat perusahaan tersebut mau diaudit.
Seakan-akan terkesan tidak mau mensyukuri adanya kenaikan UMP dan UMK tahun 2020, sejumlah organisasi buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak besaran kenaikan UMP dan UMK 2020 seperti yang terjadi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Bekasi di Jawa Barat yang dilakukan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Kota Tanjungpinang, Kepri, Federasi Serikat Buruh Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, menolak PP 78 tahun 2015 dan kenaikan UMP Tahun 2020 sebesar 15 persen.
Bagaimanapun juga, kebijakan Pemerintah melalui Kemenaker yang menetapkan kenaikan UMP/K tahun 2020 sebesar 8,51 persen dinilai kelompok buruh tidak didasari penghitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga belum mampu mensejahterakan kaum buruh.
Pada sisi lain, besaran kenaikan UMP/K tahun 2020 tersebut dinilai kalangan pengusaha akan memberatkan di tengah kondisi perekonomian yang masih melambat, karena kenaikan upah tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kinerja dan hasil produksi. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, penetapan kenaikan UMP/K tahun 2020 tersebut diprediksi akan terus mendapat penolakan dan resistensi dari kelompok buruh maupun pengusaha di berbagai daerah.
Kelompok buruh yang terus melakukan penolakan terhadap penetapan UMK 2020 di beberapa daerah, seharusnya mulai memikirkan kembali aksinya karena baying-bayang terjadinya resesi ekonomi global tahun 2020, negara yang masih mengalami defisit neraca perdagangan, termasuk adanya momen Pilkada Serentak 2020, jika mereka terus tidak bersama-sama aparat pemerintah menciptakan iklim investasi dan iklim berusaha yang aman, menguntungkan dan kondusif, maka bisa jadi UMP dan UMK 2020 yang sudah ditetapkan mengalami kenaikan walaupun dinilai kurang angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan malah tidak akan dapat terbayarkan dengan memburuknya situasi nasional dan terjadinya capital outflow ke luar negeri.(**)
Oleh : Otjih Sewandarijatun. Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi. Alumnus Universitas Udayana, Bali
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com