MOMENTUM, Bandarlampung--Menurut penjelasan Totok Daryanto, Wakil Ketua Baleg DPR RI periode 2014-2019, terdapat 13 Undang Undang (UU) yang mengatur soal penyadapan. Hal ini sama artinya dengan adanya 13 institusi negara yang melakukan kegiatan penyadapan/intersepsi dengan dasar aturan dan tata cara yang berbeda-beda.
Kegiatan penyadapan di satu sisi dapat menjadi sarana penting untuk penegakan hukum serta mengantisipasi berbagai ancaman keamanan dan kepentingan nasional, sementara itu di sisi lain penyadapan menyasar hal yang private dan HAM warga negara.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengatur dan mensinkronkan kegiatan penyadapan dalam suatu regulasi melalui penyusunan RUU Penyadapan yang kini masuk dalam Prolegnas 2020. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK No. 006/PUU-I/2003 juga telah menyatakan bahwa pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, pasal 31 ayat (4) UU ITE memberikan amanat agar penyadapan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Sehingga masalah penyadapan tidak lagi akan diatur melalui PP namun haruslah dengan suatu UU tersendiri.
Secara substantif, RUU Penyadapan yang merupakan usulan inisiatif DPR ini akan mengatur mengenai tata kelola kegiatan penyadapan/intersepsi; bagaimana kegiatan penyadapan itu dilakukan, lama penyadapan, aktor yang melakukan penyadapan, objek yang disadap, institusi yang berwenang memberi ijin penyadapan, serta akuntabilitas kegiatan penyadapan.
Melalui RUU Penyadapan, tumpang tindih aturan dan kewenangan antar institusi negara dapat disinkronisasi dengan aturan yang lebih jelas sehingga akuntabilitas penggunaan kewenangan yang cenderung sering ditafsirkan sebagai ancaman terhadap HAM lebih dapat diperkuat aspek akuntabilitasnya. Dengan demikian, masuknya RUU Penyadapan dalam prolegnas merupakan momentum strategis yang harus dimanfaatkan untuk membangun sistem tata kelola kegiatan penyadapan yang sesuai dengan prinsip HAM dan memperkuat keamanan warga negara.
Isu Krusial
Putusan MK atas Uji Materi Pasal 31 ayat (4) UU ITE, menilai bahwa belum ada pengaturan yang komprehensif mengenai penyadapan. Aturan penyadapan tersebar di beberapa UU dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda, seperti dalam UU ITE, UU 40/1999 tentang Telekomunikasi, UU 35/2009 tentang Narkotika, UU KPK, UU Intelijen Negara dan lainnya.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa aturan yang ada selama ini belum memberikan tata cara penyadapan yang jelas, seperti bagaimana prosedur pemberian ijin, batas kewenangan, dan orang yang berwenang menyadap. Ketidakjelasan aturan ini membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran hak konstitusional ketika masing-masing instansi bertindak sesuai kepentingannya sendiri. Meski demikian, MK juga menilai bahwa right of privacy merupakan bagian dari HAM yang dapat dibatasi melalui Undang-Undang. Hal ini sejalan dengan norma dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dimana pembatasan hak kebebasan melalui UU dimaksudkan untuk menjamin hak kebebasan itu sendiri, menciptakan rasa keadilan, nilai moral, agama serta kepentingan keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Merujuk pada putusan MK tersebut, maka semestinya tidak perlu ada kekhawatiran bahwa RUU Penyadapan akan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Justru dengan keberadaan UU Penyadapan, tata kelola dan akuntabilitas penyadapan menjadi dapat diatur dan diintegrasikan dengan prinsip-prinsip HAM. Hal krusial dalam perspektif HAM yang selama ini dikritisi terkait dengan penyadapan, seperti banyaknya lembaga yang diberi kewenangan menyadap, penayangan hasil sadapan untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan privasi dan mekanisme pemulihan bagi orang yang disadap, menjadi dapat diatur lebih komprehensif dalam UU Penyadapan dibandingkan ketika aturan tersebut tersebar di berbagai UU.
Aspek lain yang juga penting dalam RUU Penyadapan adalah pengaturan mengenai objek penyadapan dan legalitas tindakan penyadapan. Wacana tentang pemberian kewenangan khusus bagi KPK untuk melakukan penyadapan terkait perkara korupsi tanpa meminta ijin pengadilan tentu akan menimbulkan persoalan. Memang masalah korupsi dapat dikatakan sebagai extraordinary crimes, namun sifat resiko yang ditimbulkan tidak langsung dan serta merta mengancam keselamatan warga negara. Hal ini berbeda dengan objek penyadapan dalam operasi intelijen, semisal terorisme, kejahatan terorganisir, yang memberikan dampak langsung pada keamanan warga negara. Pilihannya adalah bahwa UU Penyadapan tentu harus memberikan asas kepastian hukum dimana setiap tindakan penyadapan dilakukan melalui mekanisme yang sama bagi setiap instansi negara, atau ada aturan yang jelas tentang karakteristik objek penyadapan atau kualifikasi informasi yang hendak didapatkan yang dimungkinkan mendapat pengecualian dari ketentuan mendapatkan ijin pengadilan terlebih dahulu.
Melihat perkembangan jenis ancaman keamanan negara yang makin kompleks dan canggih, tentu memerlukan respon yang cepat dan tepat. Efektifitas dalam penyadapan/intersepsi terhadap transmisi informasi menjadi kunci dari kemampuan pencegahan dan penindakan terhadap semua jenis ancaman. Karena itu, perlu dipertimbangkan keseimbangan antara proses administrasi penyadapan dengan efektifitas tindakan dan tujuan yang hendak dicapai. Administrasi penyadapan hendaknya menjadi isu dalam RUU Penyadapan dalam kepentingan agar tidak terjebak dalam proses yang birokratis sehingga justru menjadi hambatan dalam upaya menciptakan keamanan secara efektif bagi warga negara dengan tetap menjunjung tinggi HAM dan komitmen terhadap demokratisasi. Dalam konteks itulah maka perlu melibatkan para pemangku kepentingan guna mematangkan substansi dalam RUU Penyadapan yang kini dibahas oleh DPR.(**)
Oleh: Erlangga Pratama, penulis adalah Manager Riset dan Perekrutan Polkasi, Jakarta.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com