MOMENTUM, Bandarlampung--Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dianggap akan merugikan pemerintah daerah (Pemda). Sebab, banyak pasal-pasal dalam RUU yang berpotensi melemahkan semangat otonomi daerah.
Anggapan itu disampaikan oleh Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ahmad Bastian kepada harianmomentum.com, Rabu (29-4-2020).
“RUU Cipta Kerja dapat menghilangkan makna gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,” kata Bastian.
Bahkan, sambung dia, RUU Cipta Kerja memuat ketentuan bahwa presiden bisa membatalkan peraturan daerah (perda) melalui peraturan presiden.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 166 draf aturan omnibus law. Pasal 166 itu diantaranya mengubah Pasal 251 yang ada dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Perda itu kan kewenangan daerah. Dia dibentuk berdasarkan rapat antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah. Tapi di RUU Cipta Kerja ini peraturan presiden dinyatakan bisa membatalkan berlakunya suatu perda. Maka RUU ini sangat merugikan daerah,” ungkapnya.
Selain itu, kata Bastian, RUU tentang Cipta Kerja juga akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan atau perizinan.
Komite I DPD RI mencermati bahwa RUU tentang Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
“RUU tentang Cipta Kerja akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan atau perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945,” paparnya.
Sebelumnya, legislator asal daerah pemilihan (Dapil) Lampung itu menuturkan, sejak awal RUU cipta kerja memang sudah menuai polemik. Bahkan kemunculannya pun tidak melibatkan banyak pihak.
“RUU Cipta Kerja ini kan menyangkut kepentingan umum. Maka seharusnya dalam penyusunannya melibatkan masyarakat luas, termasuk didalamnya akademisi dan stakeholder terkait. Namun ini tiba-tiba sudah jadi rancangannya, sehingga banyak mengalami polemik,” kata Bastian.
Untuk itu, sambung Bastian, saat ini Komite I DPD RI telah diusulkan agar pengesahan RUU Cipta Kerja ditunda terlebih dahulu. Terlebih saat ini pemerintah dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 sudah menyatakan bahwa Covid-19 sebagai bencana nasional.
“Kita sarankan pengesahannya ditunda, paling tidak hingga masalah pandemik Covid-19 berakhir. Sebab saat ini hampir rata-rata semua provinsi di Indonesia sudah terjangkit (bencana nasional),” jelasnya.
Ada beberapa hal positif yang didapatkan dengan penundaan pengesahan RUU tersebut. Salah satunya tersedianya waktu untuk menyerap aspirasi dari masyarakat umum, terkait setiap butir pasal dalam RUU tersebut.
“Masukan bisa disampaikan melalui sarana daring dan sebagainya (dengan memperhatikan social dan physical distancing),” ujarnya.
Hari ini, tutur Bastian, Komite I DPD RI telah mendengar pendapat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tekait RUU Cipta Kerja melalui video conference.
“Dengan penundaan ini kita membuka ruang publik. Sehingga kita memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat memberi masukan terhadap penyusunan RUU Cipta Kerja ini,” jelasnya.
Selain beberapa hal yang telah disampaikannya, menurut Bastian, ada beberapa pandangan berkenaan dengan adanya pembahasan RUU tentang Cipta Kerja di DPR RI yang telah disampaikan Komite I DPD RI.
Diantaranya Komite I DPD RI berpandangan bahwa RUU tersebut banyak menyangkut dengan kepentingan daerah, maka sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 ayat (2) yang menyatakan bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
“Maka pembahasan terhadap RUU tentang Cipta Kerja ini harus dilakukan secara tripartit oleh DPR RI, Pemerintah dan DPD RI,” ujar Bastian.
Selanjutnya, Komite I DPD RI melihat banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU tentang Cipta Kerja (493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden dan 4 Peraturan Daerah).
“Ini menunjukkan tidak sensitifnya pembentuk undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia yang hyper regulasi,” jelasnya.
Kemudian, Komite I DPD RI berpandangan bahwa substansi pengaturan RUU tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Terdapat 2 (dua) pasal dalam RUU tentang Cipta Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan Putusan MK, seperti dalam Pasal 170 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah UU.
Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU.
Selain itu, dalam Pasal 166 disebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Perda. Hal itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.(**)
Laporan/Editor: Agung Chandra Widi
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com