MOMENTUM, Yogyakarta--Sejak awal kemunculannya di tahun 2008 dan kemudian terakhir direvisi pada tahun 2016, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus menjadi polemik di kalangan masyarakat.
Tidak mengherankan karena memang ada beberapa butir pasal dalam UU tersebut yang belum tuntas substansinya, misalnya pada Pasal 27 ayat (3) yang menyinggung tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik secara daring dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Dua Pasal tersebut kemudian dianggap banyak pihak kerap digunakan untuk mengekang kritik bahkan mengkriminalisasi kegiatan berekspresi seluruh elemen masyarakat.
Anggapan tersebut tidaklah berlebihan karena diksi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik serta ujaran kebencian penafsirannya masih begitu luas.
Artinya, meski banyak yang mengatakan kritik itu berbeda dengan menghina atau ujaran kebencian, tapi bagi pihak yang keberatan atau tidak terima dapat merumuskan secara sepihak bahwa ungkapan kritis terhadap dirinya adalah penghinaan atau ujaran kebencian.
Kasus yang menimpa Saiful Mahdi, dosen di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dapat dijadikan sebagai salah satu contoh.
Saiful digugat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengkritik seleksi CPNS untuk Dosen Fakultas Teknik pada akhir tahun 2018.
Meski saksi ahli saat itu Hendri Subiakto yang merupakan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika mencoba memberikan penjelasan bahwa kasus yang menimpa Saiful tidak tepat, namun hakim tetap bersi keras dengan mengacu pada norma yang ada di dalam UU itu.
Secara umum, sepanjang tahun 2020 banyak elemen masyarakat yang berasal dari kalangan jurnalis, aktivis, akademisi, mahasiswa, dan lainnya yang mengalami upaya kriminalisasi saat menggunakan haknya untuk mengungkapkan pendapat.
Amnesty Internasional Indonesia mencatat, setidaknya terdapat 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE pada tahun 2020. Jumlah tersebut disebutkan oleh Amnesty sebagai yang terbanyak dibanding periode-periode sebelumnya sejak tahun 2014. Sementara survei dari Koalisi Masyarakat Sipil menemukan angka rata-rata penghukuman menggunakan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) dalam UU ITE mencapai 96,8% dari 744 perkara. Adapun orang yang dituduh dengan pasal dalam UU ITE hampir pasti kena penjara dengan tingkat pemenjaraan 88% dari 676 perkara.
Melihat keadaan tersebut, tidak mengherankan apabila pernyataan Presiden Jokowi soal rencana revisi UU ITE agar implementasinya benar-benar memenuhi unsur keadilan bisa dikatakan sebagai angin segar utamanya bagi masyarakat sipil. Terlebih, implementasi UU ITE selama ini juga sepertinya sangat berimplikasi terhadap iklim demokrasi Indonesia. Berdasarkan indeks demokrasi yang dirilis EIU, Indonesia mendapat skor 6,3. Angka tersebut merupakan yang terendah selama 14 tahun belakangan. Bahkan, pada indikator penilaian kebebasan sipil, Indonesia hanya mampu mencatat skor 5,59.
Sementara hasil survei dari Indikator Politik Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan angka warga takut untuk menyatakan pendapat sebanyak 79,6%, makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8%, dan ditambah aparat semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan.
Pertanyaannya sekarang adalah sejauh apa komitmen presiden terhadap rencana revisi UU ITE? Apa indikator Presiden agar benar-benar siap merevisi UU kontroversi tersebut? Tentu saja ini perlu dipertanyakan agar omongan Presiden beberapa waktu lalu itu bukan hanya sekedar lagu pencitraan untuk kepentingan populisme.
Presiden harus mengambil langkah untuk memastikan produk hukum tidak menjerat masyarakat yang kritis dengan pasal-pasal karet seperti UU ITE. Kebebasan bersuara atau menyampaikan aspirasi dari masyarakat harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Terlebih Presiden dalam kesempatan lain juga mengharapkan ada kritik terhadap kinerja pemerintah, maka sudah seharusnya harapan tersebut sejalan dengan produk hukum yang menjamin kebebasan berpendapat.
Asa Kebebasan Bersuara
Memang, keberadaan UU ITE sebenarnya mempunyai tujuan baik, yakni menciptakan ekosistem dunia digital yang sehat. Salah satunya dengan mendorong setiap orang agar bisa mengontrol dirinya ketika beraktivitas di dunia maya.
Hanya saja, dengan tidak adanya definisi yang jelas antara kritik dan ujaran kebencian, selama itu pula UU tersebut dapat digunakan untuk mengkriminalisasi dan membungkam mereka yang kritis dalam menyampaikan pendapat.
Artinya, ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah legislatif dan eksekutif agar merumuskan definisi pada diksi yang rawan dengan multitafsir.
Harapannya, setelah itu ada panduan yang lebih konkret bagi aparat dalam menindak laporan pelanggaran terhadap UU ITE sehingga keberadaan aturan tersebut tidak menjadi anomali yang merampas hak masyarakat untuk bersuara.
Seperti diketahui bahwa kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat seperti yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Pasal 28 UUD 1945 dinyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang. Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 tertulis bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Sementara Pasal 28 F UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Semua poin berkaitan dengan UU yang menjamin kebebasan bersuara dan berekspresi tersebut harus dirawat sebagai bagian dari komitmen negara melindungi hak asasi warga negaranya.
Inilah momen tepat bagi pemerintah untuk merevisi dan memastikan UU ITE tidak merampas kebebasan orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.Karena jika tidak kunjung ada perubahan atau bahkan ternyata ungkapan Presiden soal rencana mengevaluasi UU ITE hanya lagu politik, maka kita akan selalu mendengar berita ataupun melihat data angka yang terus meningkat terkait korban kriminalisasi dari UU tersebut. (**)
Penulis: Kr.Bagas Romualdi, S.Pd (Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com