Industri Baja Lokal Terancam Rugi Rp 52 Triliun Per Tahun

Tanggal 18 Sep 2017 - Laporan - 1016 Views
Foto: Net

Harianmomentum--Pelaku industri meminta pemerintah untuk ikut berperan aktif dalam menumbuhkan investasi guna memperbesar produksi baja lokal. Jika terus-terusan bergantung pada impor, industri baja lokal akan rugi Rp 52 triliun per tahun.


Standard & Certification Committee The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Basso Datu Makahanap mengungkapkan, kebutuhan baja pada 2020 bisa mencapai 20 juta ton per tahun. Menurutnya, hal itu bisa menguntungkan dan merugikan industri baja dalam negeri.


"Pilihan kita cuma dua agar 20 juta ton itu bisa terpenuhi. Mau investasi 10 miliar dolar AS (Rp 132 triliun) untuk 20 tahun atau rugi 4 miliar dolar AS (Rp 52 triliun) per tahun untuk belanja impor," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, pekan lalu.


Ia mengatakan, investasi baru sangat dibutuhkan industri baja domestik guna memperbesar produksi. "Untuk memenuhi ke­butuhan baja di masa yang akan datang dibutuhkan investasi yang relatif besar," ungkapnya.

Oleh karena itu, pihaknya me­minta, pemerintah ikut berperan aktif dalam menumbuhkan in­vestasi. "Peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan. Terutama dalam mempermudah investasi masuk lewat regulasi yang baik untuk investor," katanya.

Sepanjang tahun lalu kon­sumsi baja tercatat sebesar 12,7 juta ton. "Produsen dalam negeri hanya mampu memenuhi kebu­tuhan crude steel sebesar 6,8 juta ton, sehingga sisanya harus diimpor," tuturnya. 

Menurutnya, konsumsi baja yang terus meningkat akan menjadikan Indonesia pasar yang menarik untuk investor. Selain itu, manfaat multiplier effect akan dirasakan semua stakeholder jika kebutuhan baja diisi oleh produsen lokal.

"Industri baja mempunyai multiplier effect yang besar sehingga bisa menambah peneri­maan negara juga. Kalau harus diisi oleh impor maka manfaat­nya akan diambil oleh negara eksportir," kata Basso.

Ia menambahkan, pembangu­nan infrastruktur oleh pemerin­tah akan menjadi potensi besar. Pasalnya, sektor konstruksi menjadi penyerap utama baja dengan persentase konsumsi sebesar 78 persen dibandingkan keseluruhan. 

"Kunci utama industri baja na­sional adalah sektor konstruksi, sebaliknya sektor kontruksi tidak akan bisa bergerak tanpa baja karena baja merupakan komponen utama konstruksi," tukasnya.

Direktur Eksekutif IISIA Hi­dayat Triseputro mengatakan, pemerintah perlu menyusun regulasi kriteria investasi agar investor tertarik menanam­kan modalnya di Indonesia. "Regulasi ini juga dibutuhkan untuk mengerem teknologi baja yang tidak ramah lingkungan," ujarnya. 

Ia menegaskan, dukungan pemerintah yang saat ini di­tunggu industri baja adalah penyelesaian masalah impor. "Kami harap pemerintah untuk melakukan pengetatan impor dari produk baja unfair, circum­vention, pelarian HS Number (kode kepabeanan), dan non Standar Nasional Indonesia (SNI)," ujarnya.

Ia mengakui, kapasitas produksi pabrikan baja dalam negeri memang belum mampu memenuhi permintaan. Hanya saja, dalam praktiknya banyak importir yang memanfaatkan pelarian HS number. "Importir baja memanfaatkan bebas pen­genaan bea masuk baja paduan untuk mengimpor baja karbon," ungkapnya. 

Ia mengatakan, harmonisasi tarif dari hulu ke hilir juga dinanti industri baja dalam negeri. "Pengenaan tarif yang hanya ditujukan kepada produk hulu membuat pasar domestik dipenuhi produk hilir impor," kata Hidayat. 

Ia menambahkan, produksi baja dalam negeri juga masih dibebani oleh harga gas dan ongkos logistik yang belum kompetitif. Sehingga harganya pun masih kalah saing dengan produk impor yang lebih murah. "Selain itu, komitmen penerapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk proyek pemer­intah dan regulasi bahan baku peleburan baja harus dimatang­kan," tukasnya.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elek­tronika Kemenperin IGusti Putu Suryawirawan mengatakan, proyeksi rata-rata pertumbuhan kebutuhan baja domestik sebesar 8,3 persen selama 2016 hingga 2021 menjadi peluang bagi para investor. "Investasi industri baja Indonesia masih menjanjikan," ujarnya.

Ia mengatakan, masifnya pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan pemerintah bisa menjadi angin segar untuk industri baja domestik. "Ini pe­luang bagus untuk industri baja nasional," katanya. 

Dalam Rencana Induk Pem­bangunan Industri Nasional (RIPIN), pemerintah menarget­kan kapasitas produksi crude steel nasional mencapai 12 juta ton per tahun pada 2019 yang kemudian meningkat menjadi 17 juta ton per tahun pada 2024. Pada 2035 kapasitas produksi ditargetkan sebesar 25 juta ton per tahun. (rmol)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Safari Ramadan, Direktur Pemasaran PTPN Holdi ...

MOMENTUM, Bungamayang--Direktur Pemasaran PTPN III Holding Dwi Su ...


'Ngabuburit' Sambil Melihat Satwa di Lembah H ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Taman Wisata dan Taman Satwa Lembah Hija ...


Lenovo Hadirkan Think Station P8, Workstation ...

MOMENTUM, Jakarta -- Lenovo meluncurkan Think Station P8 di Indon ...


BI Lampung Layani Penukaran Uang di Kapal Pel ...

MOMENTUM, Lampung--Bank Indonesia Provinsi Lampung memperluas lay ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com