Harianmomentum--Pelaku
industri meminta pemerintah untuk ikut berperan aktif dalam menumbuhkan
investasi guna memperbesar produksi baja lokal. Jika terus-terusan bergantung
pada impor, industri baja lokal akan rugi Rp 52 triliun per tahun.
Standard & Certification Committee The Indonesian
Iron & Steel Industry Association (IISIA) Basso Datu Makahanap
mengungkapkan, kebutuhan baja pada 2020 bisa mencapai 20 juta ton per tahun.
Menurutnya, hal itu bisa menguntungkan dan merugikan industri baja dalam negeri.
"Pilihan kita cuma dua agar 20 juta ton itu bisa
terpenuhi. Mau investasi 10 miliar dolar AS (Rp 132 triliun) untuk 20 tahun
atau rugi 4 miliar dolar AS (Rp 52 triliun) per tahun untuk belanja
impor," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta,
pekan lalu.
Ia mengatakan, investasi baru sangat dibutuhkan industri baja
domestik guna memperbesar produksi. "Untuk memenuhi kebutuhan baja di
masa yang akan datang dibutuhkan investasi yang relatif besar," ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta, pemerintah ikut berperan aktif
dalam menumbuhkan investasi. "Peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan.
Terutama dalam mempermudah investasi masuk lewat regulasi yang baik untuk
investor," katanya.
Sepanjang tahun lalu konsumsi baja tercatat sebesar 12,7
juta ton. "Produsen dalam negeri hanya mampu memenuhi kebutuhan crude
steel sebesar 6,8 juta ton, sehingga sisanya harus diimpor," tuturnya.
Menurutnya, konsumsi baja yang terus meningkat akan
menjadikan Indonesia pasar yang menarik untuk investor. Selain itu, manfaat
multiplier effect akan dirasakan semua stakeholder jika kebutuhan baja diisi
oleh produsen lokal.
"Industri baja mempunyai multiplier effect yang besar
sehingga bisa menambah penerimaan negara juga. Kalau harus diisi oleh impor
maka manfaatnya akan diambil oleh negara eksportir," kata Basso.
Ia menambahkan, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah
akan menjadi potensi besar. Pasalnya, sektor konstruksi menjadi penyerap utama
baja dengan persentase konsumsi sebesar 78 persen dibandingkan keseluruhan.
"Kunci utama industri baja nasional adalah sektor
konstruksi, sebaliknya sektor kontruksi tidak akan bisa bergerak tanpa baja
karena baja merupakan komponen utama konstruksi," tukasnya.
Direktur Eksekutif IISIA Hidayat Triseputro mengatakan,
pemerintah perlu menyusun regulasi kriteria investasi agar investor tertarik
menanamkan modalnya di Indonesia. "Regulasi ini juga dibutuhkan untuk
mengerem teknologi baja yang tidak ramah lingkungan," ujarnya.
Ia menegaskan, dukungan pemerintah yang saat ini ditunggu industri
baja adalah penyelesaian masalah impor. "Kami harap pemerintah untuk
melakukan pengetatan impor dari produk baja unfair, circumvention, pelarian HS
Number (kode kepabeanan), dan non Standar Nasional Indonesia (SNI),"
ujarnya.
Ia mengakui, kapasitas produksi pabrikan baja dalam negeri
memang belum mampu memenuhi permintaan. Hanya saja, dalam praktiknya banyak
importir yang memanfaatkan pelarian HS number. "Importir baja memanfaatkan
bebas pengenaan bea masuk baja paduan untuk mengimpor baja karbon,"
ungkapnya.
Ia mengatakan, harmonisasi tarif dari hulu ke hilir juga
dinanti industri baja dalam negeri. "Pengenaan tarif yang hanya ditujukan
kepada produk hulu membuat pasar domestik dipenuhi produk hilir impor,"
kata Hidayat.
Ia menambahkan, produksi baja dalam negeri juga masih
dibebani oleh harga gas dan ongkos logistik yang belum kompetitif. Sehingga
harganya pun masih kalah saing dengan produk impor yang lebih murah.
"Selain itu, komitmen penerapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk
proyek pemerintah dan regulasi bahan baku peleburan baja harus dimatangkan,"
tukasnya.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika
Kemenperin IGusti Putu Suryawirawan mengatakan, proyeksi rata-rata pertumbuhan
kebutuhan baja domestik sebesar 8,3 persen selama 2016 hingga 2021 menjadi
peluang bagi para investor. "Investasi industri baja Indonesia masih
menjanjikan," ujarnya.
Ia mengatakan, masifnya pembangunan infrastruktur yang sedang
dilakukan pemerintah bisa menjadi angin segar untuk industri baja domestik.
"Ini peluang bagus untuk industri baja nasional," katanya.
Dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN),
pemerintah menargetkan kapasitas produksi crude steel nasional mencapai 12
juta ton per tahun pada 2019 yang kemudian meningkat menjadi 17 juta ton per
tahun pada 2024. Pada 2035 kapasitas produksi ditargetkan sebesar 25 juta ton
per tahun. (rmol)