Kurang Serius Membumikan Pancasila

Tanggal 27 Mar 2017 - Laporan - 1135 Views
Penulis: Torkis T Lubis, peneliti dan pendiri CERSIA, Jakarta. Foto: Sumber Google

Harianmomentum--Pancasila memang benar-benar sudah menjadi dasar ideologis Bangsa Indonesia. Pancasila tidak pernah menjelaskan adanya perbedaan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan justru menjembatani keberagaman yang ada.

 

Selain itu, nasionalisme sering kali dipermasalahkan oleh sebagian orang. Nasionalisme tidak hanya sekedar membela pertandingan sepak bola, nasionalisme itu bagaimana masyarakat Indonesia menyikapi kebanggaan dirinya terhadap Ideologi Pancasila.

 

Harus disadari bahwa tanpa Pancasila, tidak ada NKRI. Pancasila merupakan perjanjian luhur para leluhur ketika mendirikan NKRI. Oleh karena itu, Pancasila harus dihayati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Untuk menjaga kedaulatan NKRI, perlu adanya dialog untuk mencegah berkembangnya ideologi selain Pancasila.

 

Selain itu semua pihak perlu membangun wawasan kebangsaan dalam rangka mengamankan, melestarikan dan membudayakan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

 

Apalagi, nilai dasar Pancasila telah ada sebelum kemerdekaan. Norma-norma Pancasila telah ada dalam masyarakat sebelum ditetapkan sebagai dasar Negara pada Agustus 1945.

 

Namun, saat ini nilai-nilai itu dinilai mulai memudar seiring pengaruh dari ideolgi lain. Dalam rangka menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat, perlu lembaga yang mengajarkan nilai dan norma Pancasila.


Sebenarnya, kondisi bangsa dan negara ini sempat diprediksikan oleh Bung Karno akan diributkan dengan menguatnya politik identitas yang jika dibiarkan dapat merobek-robek pluralisme.  


Menurut Bung Karno dalam buku dibawah bendera Revolusi pada tahu 1940 an bahwa bangsa ini akan diributkan dengan Politik identitas yang keluar dari rel yang sudah kita sepakati.


Sebenarnya, orang Indonesia itu toleran, tapi akan menjadi Intoleran jika ada infiltrasi dari nilai-nilai politik tertentu. Intoleransi yang tidak terkendali, akan menghasillan sikap radikal dan berujung kepada aksi-aksi teror.


Namun, faktanya sekarang ini, mahasiswa-mahasiswa dari kampus ternama menganggap Pancasila tidak sebagai ideologi bangsa Indonesia dan 75% menganggap Syariah Islam sebagai palsafah negara. Hasil penelitian pada 8 tahun ke belakang hampir 50 % setuju dengan ajaran radikalisme.

Saat ini banyak berkembang ideologi yang mengancam Pancasila. Ancaman ideologi dari luar misalnya individualism dan kapitalisme. Sementara dari dalam yaitu keberadaan kelompok ekstrem kanan dan ekstrem kiri.


Dalam rangka pengamanan penegakan Pancasila sebagai ideologi bangsa, semua pihak di Indonesia telah melakukan berbagai hal diantaranya penangkalan ideologi selain Pancasila.


Apalagi saat ini terorisme, ekstrimisme dan kejahatan antar bangsa merupakan persoalan serius yang perlu segera diatasi. Ketiga masalah tersebut berpotensi mengancam eksistensi negara.


Terorisme menjadi perhatian dunia karena gerakan ini semakin menakutkan dan meluas begitu cepat. Pengaruh dan jaringan terorisme berkembang luas akibat perkembangan teknologi informatika dan transportasi. Aksi teror lebih mudah berkembang di negara dengan sistem keamanan lemah.


Terorisme menjadi masalah global yang harus mendapat perhatian serius. Tidak hanya disebabkan ketidakdilan dalam ekonomi, tetapi juga berkembang menjadi masalah ideologi.


Untuk itu, perlu pendekatan yang tepat agar terorisme tidak tumbuh subur di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia salah satu solusi jitu mengantisipasi terorisme dan radikalisme adalah serius membumikan atau melaksanakan Pancasila.


Selain terorisme, konflik yang bersumber dari masalah SARA masih mendominasi konflik horizontal di Indonesia. Upaya pencegahan oleh aparatur pemerintah dinilai berbagai kalangan belum maksimal, karena koordinasi antar instansi terkait masih sangat lemah.


Jumlah konflik SARA di Indonesia sepanjang 2015 s.d 2016 mencapai 1.568 kejadian, dan konflik yang melibatkan massa dalam kelompok besar mencapai 1.060 kasus.


Menurut Mayjen TNI Thamrin Marzuki, Deputi II Bidang Intelijen Dalam Negeri Badan Intelijen Negara (BIN), konflik yang berdasarkan SARA seringkali berkembang menjadi konflik yang melibatkan kelompok-kelompok intoleran, bahkan dalam beberapa formula, berkembang menjadi konflik ideologi hingga radikalisasi agama tertentu untuk menggantikan Pancasila.


Perkembangan dan pergeseran konflik itu menjadi lebih luas. Penggunaan media sosial pada akhirnya memicu sentimen menjadi lebih luas (Kompas, 16 Maret 2017).


Tantangan


Diakui atau tidak, situasi sosial dan politik selama enam bulan terakhir menunjukkan nilai-nilai pluralisme yang sejak lama dimiliki bangsa Indonesia semakin memudar. Untuk itu, diperlukan penguatan kembali ideologi Pancasila untuk mencegah potensi perpecahan bangsa.


Tantangan dalam membumikan Pancasila semakin sulit di era global dan digital sekarang ini, karena anak muda sekarang sangat menyukai sesuatu yang berbeda dan nyeleneh.


Saat ini ada kelompok kelompok orang yang melakukan kekerasan mengatasnamakan agama, seharusnya dalam berbangsa dan bernegara itu harusnya memeluk agama bukan dipeluk agama, sama halnya kita itu harus dibiasakan dengan memeluk politik bukan dipeluk politik dan Pancasila tidak lagi menjadi paham kebangsaan dan paham Idelogi.


Kondisi kebangsaan dan keberwarganegaraan juga semakin sulit ketika banyak pejabat yang kurang bisa menjaga ucapannya, sehingga melahirkan polemik di masyarakat, seperti saat ini lagi penistaan agama.


Salah satu elemen ideologi Pancasila adalah kesadaran terhadap pluralisme, bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan, sehingga masyarakat harus dapat hidup bersama dalam perbedaan.


Menjaga kebhinekaan memerlukan proses panjang yang didasari sikap saling menghargai dan toleransi dalam menyikapi keberagaman. Sinergi antara kelompok mayoritas dan minoritas menjadi langkah utama menjamin pelaksanaan kehidupan yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika. Harus diakui upaya menjaga kebhinekaan memerlukan proses yang panjang, terutama dengan melestarikan toleransi.


Proses toleransi dimulai dari rela hidup berdampingan dalam keberagaman, bersikap terbuka dengan perbedaan, dan setiap kelompok agama atau suku bangsa bersedia saling belajar menghadirkan pemahaman terhadap kelompok lain.


Setiap orang juga saling menghormati segala perbedaan yang ada, dan jika seluruh proses telah dijalankan, maka seluruh warga negara dapat meraih inti dari toleransi yakni merayakan kebhinekaan. Para pendiri bangsa berupaya merumuskan nilai dan melaksanakannya.Oleh karena itu, warga Indonesia perlu terus menjaga dan memperkuat politik entitas yang dimiliki sejak dahulu. 


Pemimpin kita terdahulu mengajarkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin kita dulu adalah pendekatan keamanan (security approached), dimana pemimpin-pemimpin tersebut memiliki tujuan untuk menjaga keberagaman yang ada di dalam negeri.


Tetapi, apabila hal tersebut hanya dilakukan oleh pemerintahan saja tidaklah cukup, sehingga perlu ditopang oleh masyarakatnya itu sendiri. Sebagai contohnya, sejarah juga mengatakan bahwa warga Maluku adalah masyarakat yang taat akan perbedaan, hal tersebut ditunjukan bahwa sampai saat ini kita masih hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya.


Faktor kesejahteraan merupakan hal terpenting dalam pembangunan Maluku yang lebih baik. Apabila warganya tidak menjaga kebhinekaan dengan baik, sangatlah tidak mungkin kesejahteraan masyarakat Maluku akan tercukupi.


Oleh karenanya, saya berpesan bahwa dengan keutuhan semangat menuju Indonesia yang maju dibutuhkan sebuah komitmen tinggi secara bersama-sama bagi organisasi kepemudaan.


Disamping itu, memelihara kebhinekaan adalah kewajiban semua. Seluruh kelompok masyarakat baik mayoritas atau minoritas menghadirkan gerakan nasional penguatan Pancasila.


Langkah itu salah satunya dapat dilakukan melalui gerakan inklusif untuk menjembatani keberagaman sosial di masyarakat. Selain itu, setiap pemuka agama harus membuka diri untuk saling tatap muka untuk bersama-sama merajut kebhinekaan.


Sikap kebhinekaan menjadikan Indonesia mampu melaksanakan demokrasi yang paripurna, terutama dengan tetap melindungi minoritas dan kelompok minoritas tetap dapat menjaga adabnya terhadap kelompok mayoritas.


Tantangan lain dalam menjaga kebhinekaan adalah menghilangkan kesenjangan ekonomi, yang dapat merobek kebhinekaan yang dipicu rasa tidak puas terhadap pemerintah sehingga mudah dimanfaatkan oleh kalangan kelas atas untuk berbagai kepentingan termasuk dalam aktivitas yang mengancam kebhinekaan.


Menurut Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian saat memberikan kuliah umum di Auditorium Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat (6/3/2017), untuk menjaga kebhinekaan, maka tantangan yang mengancamnya perlu diidentifikasi sebab di setiap zaman tantangan mempertahankan kebhinekaan itu berbeda-beda.


Tantangan pertama dari internal. Masyarakat Indonesia masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, sehingga kesenjangan ekonomi masih terjadi, dengan fakta mereka yang kurang beruntung secara ekonomi masih mendominasi.


Kondisi ini dapat memicu konflik karena adanya kecemburuan sosial, dan situasi ini dapat saja dimanfaatkan kalangan atas. Selain itu ada juga faktor eksternal. Demokrasi di Indonesia mengarah ke demokrasi liberal. Hal ini karena pengaruh politik internasional.


Apalagi kecenderungan politik internasional saat ini mengarah pada anarkistis, karena negara-negara berlomba memperoleh kekuasaan, negara bisa menanamkan agenda negaranya di negara lain, baik dalam bidang ekonomi, politik dan budaya.


Dengan situasi masyarakat yang masih banyak yang belum dewasa berdemokrasi, akan mudah diprovokasi. Aksi-aksi provokasi seolah benar atas nama demokrasi. Hal ini juga bisa membuat primordialisme kesukuan semakin mengental dan pada akhirnya mengancam kebhinekaan. (Kompas, 7 Maret 2017).


Hal-hal yang Harus Dibenahi


Hukum kita ini sering tidak dipercaya oleh publik, bukan hanya sistemnya tapi aparat penegak hukum juga sudah tidak dipercayai oleh publik, seperti soal tilang, saber pungli dan penyelundupan.


Seperti penanganan berbagai kasus soal kasus marginal yang tidak terselesaikan, seperti kasus Ahmadiyah di Sampang tidak beres-beres, kasus Gereja Philafeldia yang tidak pernah tuntas dan lain-lain.


Semuanya terjadi karena hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas dan ini tidak sesuai ajaran Pancasila. Oleh karena itu, ketegasan seorang pemimpin negara juga menjadi solusi kunci menjaga kebhinekaan. 


Sehingga tidak salah jika di era Presiden Jokowi, telah ada perintah bahwa jika ada Perda dan aturan yang merugikan elemen bangsa tidak perlu lagi di bahas dan diseminarkan tapi langsung saja dicabut.


Hal lainnya yang perlu dibenahi adalah birokrasi kita ini bukan birokrasi yang melayani publik tapi birokrasi yang dilayani, hal ini disebabkan karena proses seleksi sejak awal atau sejak zaman Orba sudah ditandai era KKN.


Di era “information edge”, sekarang ini sosok birokrat baik dikalangan ASN/PNS, Polisi ataupun TNI juga menjadi faktor implementasi Pancasila dapat diterapkan secara serius atau tidak, karena bagaimanapun juga kondisi “patront and client” masih mewarnai masyarakat kita. 


Sepanjang unsur pemerintah (ASN/PNS, Polisi dan TNI) dapat dijadikan contoh, maka tidak mudah membumikan Pancasila.(**)

Editor: Momentum


Comment

Berita Terkait


Pendidikan untuk Penguatan Gerakan Keluarga M ...

INDONESIA selalu memperingati 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasio ...


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com