MOMENTUM -- Pada awal tahun ini, ada dua persoalan yang menarik perhatian umat Islam Indonesia. Terutama bagi mereka yang sudah mendaftakan diri dan memperoleh porsi atau nomor urut untuk menunaikan ibadah haji.
Pertama, soal kuota haji. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F Al Rabiah menandatangani kesepakatan tentang kuota haji Indonesia tahun 2023 sebanyak 221.000 orang.
Kesepakatan yang ditandatangani di Jeddah pada 8 Januari 2023, itu merupakan kabar baik dan layak disyukuri. Mengingat, dua tahun sebelumnya, banyak umat Islam yang batal menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim karena dunia dilanda pandemi Covid-19.
Merebaknya virus dari Cina itu, membuat berbagai negara melakukan pembatasan mobilitas maupun kerumunan warga. Imbasnya, pada 2020, jumlah kuota haji Indonesia dikurangi separoh menjadi 100.051 orang. Bahkan, pada 2021, tidak ada pemberangkatan jemaah haji Indonesia.
Dalam dua tahun itu berarti ada sekitar 300 ribu orang Islam Indonesia yang batal menunaikan ibadah rukun Islam kelima. Karena itu, pemulihan kembali jumlah kuota jemaah haji Indonesia pada 2023, menjadi berita baik yang disambut gembira oleh umat Islam. Terutama yang sudah masuk daftar antrean berangkat ke Tanah Suci.
Namun, kegembiraan itu terancam sirna. Tiba-tiba, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan agar pada tahun 1444H/2023 ini, Biaya Penyelenggaraan Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Haji (Bipih) atau biaya haji dinaikkan.
Yang mengejutkan, Pak Menteri mengusulkan kenaikan Bipih hampir dua kali lipat. Dari sekitar Rp40 juta (Rp39.886.009) menjadi Rp70 juta (Rp69.193.733).
Dengan kenaikan sebesar itu berarti seorang calon jemaah haji Indonesia harus menyiapkan uang tunai untuk pelunasan Bipih sekitar Rp44 juta. Jumlah ini diperoleh dari Rp70 juta dikurangi dengan pembayaran jemaah saat mendaftar dan memperoleh nomor porsi haji sebesar Rp25 juta.
Sementara, dengan ongkos naik haji versi lama, duit untuk melunasi Bipih tak sampai Rp15 juta. Artinya, jika ongkos naik haji dinaikkan menjadi Rp70 juta, tentu bukan persoalan sederhana. Bagi mayoritas calon jemaah haji, duit Rp44 juta itu bukan jumlah yang sedikit.
Pak Menteri tahu gak. Banyak umat Islam Indonesia yang bertahun-tahun harus berkeringat, menjalani hidup serba pas-pasan dan mengumpulkan rupiah demi rupiah agar bisa menyempurnakan ibadahnya sebagai Muslim. Hal ini juga dijalaninya agar ketika tiba saatnya melunasi Bipih, mereka memiliki uang yang cukup.
Tahu gak pak menteri. Kepriahtinan umat Islam yang ingin menjalankan ibadah haji tidak hanya dijalani selama mengumpulkan rezeki. Tetapi juga rela bersabar ketika harus menunggu giliran berangkat ke Mekkah. Bapak tahu kan, daftar tunggu naik haji saat ini sampai sepuluh tahun?!
Pak menteri. Rasanya kok gak tega melihat rakyat panjenengan yang sudah terlanjur gembira. Dengan kembalinya jumlah kuota haji Indonesia, menumbuhkan harapan bisa segera berangkat ke Tanah Suci. Namun harus batal gara-gara ongkos naik haji bertambah mahal dan tak punya duit untuk melunasi Bipih yang Rp44 juta. Apalagi, jadwal pelunasan ongkos haji tahun ini, semakin dekat.
Akan lebih bijak, jika usul kenaikan ongkos naik haji dibatalkan. Kalau pun harus naik, ya, dikit saja lah. Jangan sampai kenaikan itu membuat banyak calon jemaah haji berduka karena batal ke Tanah Suci. (*)
Editor: Muhammad Furqon
E-Mail: harianmomentum@gmail.com