MOMENTUM, Bandarlampung--Senator DPD RI Asal Lampung Abdul Hakim meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) untuk mendeklarasikan status lahan PTPN VII Unit Wayberulu yang diduduki oknum warga. Desakan itu disampaikan untuk mengantisipasi terjadinya konflik horisontal yang berimbas kepada situasi lebih rumit dan berlarut-larut.
Pernyataan itu disampaikan Abdul Hakim usai menggali informasi komprehensif dari manajemen PTPN VII di Kantor Direksi, Senin (24-7-23). Hakim hadir bersama tim dan sejumlah wartawan diterima Sekretaris Perusahaan PTPN VII Bambang Hartawan, Kabag Pengelolaan Aset Iyushar Ganda Saputra, Kabag Pertanahan dan IT Sasmika DS, dan beberapa pejabat terkait.
“Saya sudah keliling kepada semua pihak untuk menggali secara detail tentang kasus ini. Hari ini saya ke PTPN VII untuk mendengar langsung dari manajemen. Dan kesimpulan dari pertemuan ini, saya segera kontak Kepala BPN agar segera mendeklarasikan siapa sebenarnya pemilik sah dari lahan itu,” kata dia kepada sejumlah wartawan.
Menurut Abdul Hakim, persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat dan melibatkan banyak orang tidak boleh dibiarkan terlalu lama tanpa kepastian. Dalam pantauannya, kasus klaim lahan milik PTPN VII Unit Wayberulu ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun dan memanas pada dua bulan terakhir. Dia juga mendapati adanya keresahan warga di sekitar lokasi lahan yang disengketakan.
“Saya sangat memahami kasus ini tidak mudah penyelesaiannya, tetapi tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Dampaknya akan sangat berbahaya. Oleh karena itu, saya sebagai organ legislatif meminta kepada pihak-pihak terkait untuk mendorong adanya kepastian hukum tentang status lahan sehingga aktivitas kegiatan normal kembali,” tambah dia.
Dari pertemuan dengan manajemen PTPN VII, Abdul Hakim mendapat penjelasan detail dan komprehensif. Dia juga memberi apresiasi kepada pihak PTPN VII yang memilih jalan persuasif dan menghindari konflik horisontal.
“Kalau kita lihat duduk persoalannya kan jelas. Lahan itu eks aset perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. PTPN VII juga legalitas yang cukup dan berkekuatan hukum. Memang solusi paling kuatnya adalah diselesaikan lewat jalur hukum. Sebab, pengakuan atas segala sesuatu, apalagi itu masalah tanah, harus dibuktikan di hadapan hukum,” kata dia.
Terungkap dalam diskusi itu, PTPN VII bisa memastikan lahan seluas 329 hektare di Afdeling 2 Dusun Tanjungkemala, Desa Tamansari, Kecamatan Gedongtataan itu sah dikuasai PTPN VII. Bambang Hartawan menyampaikan perjalanan kasus secara kronologis kepada Abdul Hakim secara detail, lengkap dengan upaya manajemen menanganinya.
“Sebenarnya masalahnya sangat jelas. Bahkan, instansi terkait pada saat mediasi via zoom beberapa waktu lalu dengan tegas menyatakan PTPN VII sebagai pihak yang sah atas lahan tersebut. Tetapi, pihak sana (oknum yang mengklaim) berkukuh kepada pendapatnya sendiri. Artinya, ini sudah jelas. Tetapi, sekali lagi, kami tidak mau ada gesekan di masyarakat,” kata dia.
Hal yang sama disampaikan Iyushar Ganda Saputra Kepala Bagian yang mengelola Aset Perusahaan. Iyus mengaku beberapa kali meninjau lokasi lahan yang diportal di diduduki oknum warga. Ia sangat khawatir akan terjadi efek negatif dari aksi sepihak yang melanggar hukum itu karena warga sekitar juga sudah resah dan merasa terganggu.
“Perkembangan terakhir, mereka (oknum yang menduduki) sudah menanam batang pisang di sela tanaman karet kami. Kami sudah mengimbau agar tidak dilakukan, tetapi mereka tetap lakukan. Tetapi kami masih memilih opsi persuasif,” kata Iyus.
Tentang kerugian perusahaan akibat pendudukan ini, Iyus menyebut angka Rp40—50 juta per hari dari produk berupa getah karet yang seharusnya bisa dipanen. Lebih dari itu, kerugian besar dan menyangkut hajat hidup terjadi pada karyawan.
“Kalau bicara soal kerugian, secara produksi kami kehilangan produk senilai Rp40-50 juta per hari. Ini sudah berlangsung satu setengah bulan. Jadi, lebih dari Rp2 miliar. Tetapi yang lebih rugi dan berpotensi rawan adalah kerugian di sisi pekerja. Karyawan kami kehilangan pekerjaan dan penghasilan,” kata dia.
Menurut Iyus, dampak buruk dari lamanya karyawan tidak bekerja dan kehilangan pendapatan bisa lebih buruk dari sekadar metarial. Dia menyebut, sebagian besar pekerja yang kehilangan pendapatan itu adalah warga sekitar.
“Kami sangat berterima kasih kepada Pak Senator (Abdul Hakim) yang menyatakan akan meminta Kepala BPN memastikan status kasus ini supaya jelas. Kalau mau ke jalur hukum, kami siap dengan segala keputusan hakim. Tetapi itu bisa lama. Nah, saya kira opsi antara dari Pak Senator sangat tepat,” kata dia.
Di sisi pekerja, Sasmika DS yang juga Ketua Umum SPPN VII memberi gambaran tentang situasi pekerja di lokasi konflik. Ia mengatakan, pihaknya masih mematuhi arahan dari manajemen untuk melakukan langkah-langkah damai dan persuasif terhadap kasus ini.
“Sebenarnya kami sangat dirugikan dalam kasus ini. Sebab, anggota kami tidak mendapat penghasilan. Tetapi, kami patuh kepada manajemen untuk menahan diri. Kami ingin situasi kerja kami damai dan harmonis dengan masyarakat sekitar,” kata dia.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com