Janji adalah Hutang

Tanggal 05 Sep 2023 - Laporan - 1889 Views
Andi S. Panjaitan, Pemred Harian Momentum.

MOMENTUM-- Kisah ini sebenarnya sudah lama. Sekitar bulan April 2022. Tepatnya beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri 1443 Hijriah.

Namun, karena saya anggap menarik sehingga layak diabadikan lewat tulisan. Kebetulan juga, persediaan bahan “Nyekhita” malam ini habis.

Cerita berawal di Kamis pagi. Istri meminta saya mengantarkannya belanja di Pasar Tani, Kemiling, Kota Bandarlampung.

Setelah berhasil melewati padatnya jalan sempit menuju pasar tersebut, akhirnya saya berhasil mendapat tempat kosong. Usai memarkir kendaraan, seorang kakek pun menghampiri. 

“Pisang mas, bagus- bagus ini. Kepok kuning,” ucapnya ramah, begitu aku turun dari mobil.

“Saya belanja dulu ya kek, nanti kalau sudah selesai baru beli,” jawab saya singkat.

“Baik, kakek tungguin ya,” harapnya.

Aku meninggalkan lokasi parkir sembari berjalan mengiringi istri dari belakang. Singkat cerita, istri selesai membeli semua kebutuhan.

Selanjutnya kami bergegas pulang. Dalam perjalanan, macetnya minta ampun.

Saat melintasi Sekolah Dasar Negeri (SDN 1) Beringinraya, aku melihat banyak pisang yang dipajang si penjual buah. Seketika teringat janjiku pada si kakek penjual pisang, di Pasar Tani.

Ya ampun, mau putar balik tapi macet. Pikiranku bercabang. Jika tidak balik, bagaimana kalau si kakek terus menunggu di sana?

Ah, tapi nggak mungkin dia menunggu lama, pasti dia bosan dan pulang. Nggak mungkin juga dia menunggu sampai pasar bubar. Batinku.

Macet belum usai rasa lapar malah sudah tiba. Bayangan kakek tua berkemeja putih dengan kopiah usang terus menari di pikiranku.

“Mas, jalan dong. Jangan melamun. Nambah buat macet aja,” sergah seorang pengendara dari arah belakang.

Ya, kondisi jalan Teuku Cik Ditiro saat itu memang ramai. Para orang tua sedang menunggu anaknya keluar dari SDN 1 dan 2 Beringinraya.

Banyaknya kendaraan parkir di badan jalan membuat akses semakin sempit. Aku terkejut. Seketika kuinjak pedal gas, mengikuti antrian panjang kendaraan yang terjebak macet. Hatiku belum juga tenang.

Hingga akhirnya berhasil sampai di rumah. Setelah memarkir kendaraan langsung menurunkan belanjaan. Seketika anak ku yang paling kecil (saat itu), keluar menghampiri.

“Ayah nggak jadi beli pisang?” ujarnya cemberut.

Aku diam. Terbayang wajah si kakek tua. Mungkin dia masih menungguku di sana. 

“Kak Nay mau pisang?” tanyaku. Dia menganggguk, matanya penuh harap. Ya, dia memang suka makan pisang goreng yang dibaluri susu dan butiran cokelat.

Ya Allah, jika dia saja menyiratkan, yang sering bisa makan pisang, bagaimana dengan si kakek? Berjualan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Aku bergegas ke kamar, mengambil jaket dan masker. Kupinjam sepeda motor tetangga, lalu mulai kupaju pedal gas.

Kondisi jalan sudah tidak macet. Terik matahari terasa menyengat di jaket. Tapi tidak kuhiraukan.

Dipikiranku hanya ada si kakek. Setibanya di pasar, hatiku terasa pilu. Si kakek ternyata masih setia menunggu. Tersisa beberapa sisir pisang kepok kuning di dalam bakulnya.

“Kek, pisangnya sisa berapa sisir? Saya beli semua,” sembari jongkok kurentangkan kantong plastik hitam itu. Tanganku memasukkan semua pisang yang tersisa.

“Jangan mas, jangan semua. Tadi kakek sudah janji dengan mas yang pake mobil merah. Nanti dia kecewa. Tadi juga banyak yang mau beli, tapi tidak kakek jual semua, karena sudah terlanjur janji,” jelasnya panjang lebar.

Mataku mulai berkaca- kaca. Kubuka masker dan kulepas masker. “Kek, maafkan saya. Sudah membuat kakek menunggu saya”.

Dia menatapku dengan seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Loh, kok mas berubah?

“Iya, tadi pulang dulu kek,” tidak kukatakan jika aku lupa. Setelah membayar aku langsung pergi.

Sesampainya di rumah, saya mencoba mengulas kembali perisitwa yang baru saja dialami. Betapa kuat komitmen si kakek dalam berjanji. 

Dia rela tidak menjual semua pisangnya ketika ada orang yang ingin membeli, karena sudah janji kepadaku. Padahal, awalnya saya hanya menjawab spontanitas ketika dia menawarkan.

Dari cerita di atas bisa kita ambil hikmah. Bahwa, orang yang terkadang kita pandang “biasa saja” justru berjiwa “luar biasa”. 

Intinya, penuhi janji yang pernah kita ucapkan kepada siapa pun. Bisa jadi, orang yang telah kita janjikan betul- betul berharap. Karena sejatinya Janji adalah Hutang. Tabikpun. (*)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Yus Bariah, Tidak Bersalah ...

MOMENTUM -- Di pengadilan, ada sebutan hakim nonpalu. Yaitu, peng ...


Ingat, Pers Bukan Alat! ...

MOMENTUM--Belakangan, Lampung sedang dihebohkan dengan dugaan kor ...


Pilkada Koko ...

MOMENTUM -- Pada tahun ini, seluruh daerah di Indonesia akan memi ...


Gerakan Koko di Tubaba ...

MOMENTUM -- Pelaksanaan pencoblosan pilkada serentak berlangung p ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com