MOMENTUM-- Sejak awal Maret lalu, saya sebenarnya sudah mendapat informasi tentang adanya polemik di kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Terkait pengelolaan dana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang bersumber dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Persoalan itu pun sempat disidangkan oleh Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat bersama Dewan Penasehat (DP).
Namun, karena masalah ini menyangkut internal organisasi, saya memilih diam. Tidak pernah berkoar-koar kemana pun. Baik secara lisan mau pun tulisan.
Sebagai junior, lebih banyak menyimak obrolan di dalam grup-grup WhatsApp (WA) organisasi.
Biarlah persoalan ini diselesaikan secara internal. Saya yakin para senior (DK dan DP) mampu menuntaskannya. Tidak harus kasak-kusuk di publik.
Toh, ketika persoalan ini melebar kemana-mana, organisasi juga yang menjadi korban. Selain kita malu, kepercayaan pihak ketiga untuk membantu setiap kegiatan organisasi juga akan terkikis.
Sayang, banyak penunggang gelap dalam persoalan ini. Entah sumber awalnya dari mana, tahu- tahu pemberitaannya sudah viral.
Pengurus teras PWI Pusat dituding tidak transparan dalam mengelola anggaran yang digelontorkan Kementerian BUMN tersebut. Begitu kira- kira awal berita yang mencuat.
Rilis berita dari DK itu kemudian berseliweran kemana-mana. Sejumlah media online di negeri ini pun turut memberitakannya.
Tak mau kalah, Pengurus PWI Pusat pun membuat rilis tandingan. Keduanya seakan mencari pembenaran, dengan berbagai argumentasi yang menguatkan. Lantas, selesai kah persoalan?
Tidak. Justru kondisi organisasi profesi tertua dan terbesar di negeri ini semakin runyam. Banyak pihak yang tepuk tangan. Apa kalian sadar?
Saya sebagai anggota sekaligus pengurus PWI Provinsi Lampung merasa malu. Kalian yang katanya para "senior" justru membawa persoalan ini ke publik. Dengan bangganya mempertontonkan masalah internal organisasi ke pihak luar.
Apa manfaatnya? Agar dibilang hebat? Supaya mendapat predikat paling berintegritas? Omong kosong!
Haruskah membakar lumbung padi hanya untuk menangkap seekor tikus? Kan tidak harus begitu. Ada mekanisme dan aturan yang mesti kita taati bersama.
Jika memang ada oknum yang terbukti bersalah dalam persoalan ini, cukup internal organisasi yang mengetahuinya. Kalau pun tidak terbukti, toh tidak ada pihak luar yang tahu.
Tapi kondisi saat ini berbeda. Khalayak sudah paham. Ibarat nasi sudah terlanjur jadi bubur. Bahkan sudah menjadi bahan pergunjingan.
Sehingga saya merasa terpanggil untuk membuat tulisan ini. Bukan bermaksud menjatuhkan pengurus pusat, juga tidak menyudutkan para punggawa DK.
Tetapi sebagai bahan introspeksi untuk kita semua. Khususnya para anggota dan pengurus organisasi. Agar lebih bijak, lebih dewasa dalam setiap menyelesaikan persoalan internal organisasi.
Bukankah dalam menjalankan profesi sebagai wartawan, kita selalu menghormati istilah "off the record" yang disampaikan nara sumber? Mengapa kita begitu mematuhinya, tapi ingkar saat menyangkut persoalan internal organisasi?
Menang jadi arang, kalah jadi abu. Sepertinya peribahasa itu cocok dengan kondisi saat ini.
Tabik pun. (*)
Editor: Agung Darma Wijaya
E-Mail: harianmomentum@gmail.com