MOMENTUM, Natar -- Pengadilan Negeri Kalianda melaksanakan eksekusi lahan milik PTPN I Regional 7 di Desa Sidosari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Selasa 31 Desember 2024.
Lahan tersebut merupakan bagian dari HGU No.16 Tahun 1997 seluas 4.984 hektare atas nama PTPN I Regional 7 (sebelumnya PTPN VII) yang dikuasai oleh masyarakat okupan selama lebih dari tiga tahun.
“Alhamdulilah putusan inkracht oleh Mahkamah Agung telah dieksekusi hari ini. Terima kasih kepada pihak keamanan dan para pihak yang membantu proses eksekusi sehingga berjalan lancar. Luas lahan yang diokupasi oleh oknum-oknum itu ada 75 hektare dari keseluruhan HGU No.16 Tahun 1997 di unit kerja Kebun Rejosari. Kasus ini sudah selesai maka aset perusahaan yang diduduki okupan selama ini sudah tetap dan sah kembali ke pangkuan perusahaan,” kata Tuhu Bangun, Region Head PTPN I Regional 7, Selasa (31/12/24).
Tuhu menjelaskan, untuk mempertahankan aset negara ini pihaknya telah melakukan upaya hukum berjenjang. Yakni, dari PN Kalianda hingga inkracht di Mahkamah Agung. Akhirnya PTPN I Regional 7 berhasil menyelamatkan aset negara tersebut. Eksekusi yang merupakan tahapan final atas permohonan PTPN I Regional 7 berlangsung lancar.
Proses eksekusi yang merupakan perintah putusan pengadilan dipimpin oleh Panitera PN Kalianda Ahmad Letondot Basirin di lokasi dan di hadapan parapihak. Dari pihak penggugat tampak hadir Cik Raden dan beberapa masyarakat okupan. Beberapa okupan mengaku dibohongi oleh oknum LSM (Pelita) dengan menerbitkan surat seporadik atas lahan tersebut dengan menggunakan instrumen Pemerintahan Desa Natar cq. Kepala Desa Natar. Padahal, lokasi lahan tersebut berada dalam wilayah teritorial Desa Sidosari.
Dari pihak tergugat, yakni dari manajemen PTPN I Regional 7 hadir Manajer Kebun Rejosari Rusman Ali Yusuf. Turut hadir dan menyaksikan eksekusi, Camat Natar Supi’ah, Kepala Desa Sidosari Fadli Irawan alias Pungut. Sedangkan untuk membantu pengamanan eksekusi, PN Kalianda dikawal oleh personel pengamanan BKO (TNI dan Polri) dan Satpol PP dari Kabupaten Lampung Selatan yang mendapatkan perintah pendampingan eksekusi dari Bupati Lampung Selatan.
Untuk memastikan proses eksekusi berjalan lancar, perusahaan juga meminta bantuan khusus dari TNI (Korem 043/GATAM) yang selama ini juga sudah membantu pengamanan teritorial dan Perusahaan. Sejumlah personel dari Korps Marinir juga tampak bersiaga menjaga kelancaran eksekusi.
Sebagai dasar hukum pelaksanaan eksekusi, Ahmad Letondot membacakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht). Yakni, putusan No.2/Pdt.G/2022/PN.Kla Jo Putusan PT Tanjungkarang No.69/Pdt/2022/PT.Tjk Jo Putusan MA No.4354K/Pdt/2024.
"Eksekusi harus dilaksanakan karena sudah memiliki dasar hukum yang jelas dan berkekuatan hukum tetap atau inkracht," kata Ahmad Letondot Basirin seraya memerintahkan eksekusi riil kepada pihak PTPN I Regional 7.
Ahmad Letondot dalam keterangannya mengatakan, dengan proses hukum berupa eksekusi riil ini, lahan yang diserobot okupan seluas 75 hektare lebih ini dengan demikian kembali menjadi bagian dari lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN I Regional 7 No.16 Tahun 1997. Sebab, kata dia, seluruh tahapan dari proses hukum dari munculnya gugatan dari pihak penggugat sudah selesai dan final, sesuai dengan ketentuan hukum Negara Republik Indonesia.
Terhadap putusan eksekusi yang telah selesai, sesuai hukum, seluruh penghuni lahan tersebut harus meninggalkan lokasi tanpa syarat. Namun demikian, dengan pertimbangan kemanusiaan, pihak PTPN I Regional 7 masih memberi tenggat waktu selama tujuh hari setelah pembacaan eksekusi riil.
“Jika melewati dari waktu yang diberikan ini masyarakat okupan tidak melakukan komunikasi dengan pihak manajemen, maka perusahaan akan mengambil tindakan tegas sesuai peraturan keputusan eksekusi riil,” pungkas Tuhu Bangun.
Pascaeksekusi
Setelah pelaksanaan eksekusi, tampak aktivitas pekerja PTPN I Regional 7 yang tergabung dalam SPPN VII membantu warga penghuni lahan itu bersama-sama melakukan eksekusi. Antara lain, mengeluarkan berbagai barang dan aset lain dari dalam rumah, mengamankan material bekas bangunan yang masih bisa dimanfaatkan, bahkan sampai merobohkan beberapa bangunan.
Tak hanya pekerja, para aparat keamanan, Camat Natar, Kepala Desa, dan para tokoh yang hadir juga ikut membantu memindahkan material/perabot rumah tangga yang masih layak digunakan. Beberapa diantaranya harus diangkut ke luar wilayah yang difasilitasi perusahaan.
Sebagian besar masyarakat okupan telah menyatakan menerima putusan hukum ini dan bersedia keluar dengan sukarela, lengkap dengan membuat surat pernyataan bermaterai. Kepada yang tidak memiliki tempat untuk menampung bahan bangunan dari bongkaran, PTPN I Regional 7 juga telah menyediakan gudang untuk menyimpan sementara.
“Kepada yang tidak punya tempat tinggal, kami juga akan memberikan dana untuk ngontrak atau kost satu bulan maksimal sebesar Rp1 juta,” kata Tuhu Bangun.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) 7 Sasmika menyatakan apresiasinya kepada semua pihak, terutama pihak penggugat dan warga yang telah menduduki lahan dan bersedia meninggalkan lokasi dengan sukarela. Ia memahami dan turut prihatin dengan adanya permasalahan hingga berakhir seperti saat ini. Ia juga menyesalkan ulah para oknum sehingga ada masyarakat menjadi korban penipuan dengan meyakinkan telah diterbitkan surat sporadik sehingga terjadi jual beli lahan untuk tempat tinggal.
“Kami sangat memahami kondisi saudara-saudara kita ini. Namun, dengan langkah hukum eksesuksi riil oleh Pengadilan ini, risiko harus ditanggung masing-masing. Ini harus menjadi pembelajaran bagi siapa saja agar tidak mudah tergoda dan terprovokasi oleh oknum-oknum dengan berbagai dalih. Yang pasti, sesuatu yang didapat secara ilegal itu tidak baik,” kata dia.
Ketua SPPN yang juga Manajer Kebun Way Lima ini juga mengimbau kepada siapa saja dan di wilayah mana saja untuk menghindari modus operandi penipuan seperti ini. Ia mencontohkan kasus sejenis yang saat ini masih terjadi di Way Berulu, Pesawaran, agar tidak tergiur iming-iming para oknum penyerobot. Sebab, pada akhirnya akan menanggung risiko seperti yang terjadi di Sidosari ini.
“Modus seperti ini sangat berbahaya dan sangat merugikan baik materil maupun moril. Lebih berbahaya lagi karena akan memicu atau berpotensi terjadinya konflik horizontal. Kita jadi seperti diadu antara karyawan perusahaan notabene masyarakat versus masyarakat okupan dari desa setempat,” tambah dia.
Sasmika mengimbau mayarakat okupan yang hanya tinggal beberapa kepala keluarga tidak bertahan di lokasi. Hal itu, kata dia, selain akan merugikan diri sendiri juga masuk kategori tindak pidana. (*)
Editor: Muhammad Furqon
E-Mail: harianmomentum@gmail.com