Harianmomentum--Terorisme
adalah kejahatan luar biasa yang perlu ditangani dengan serius. Di Indonesia, aksi teror tidak bisa
dipandang sebelah mata karena sudah banyak menimbulkan korban dan terus terjadi
hingga akhir-akhir ini.
Sejak awal tahun 1980 aksi teror yang pernah terjadi di Indonesia antara lain Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985). Memasuki era reformasi aksi teror terjadi pada rumah Duta Besar Filipina, Gedung BEJ, dan bom malam natal (2000).
Selanjutnya
aksi teror terjadi di Bali (2002), Hotel
J.W. Marriot Jakarta (2003), Kedutaan
Australia di Jakarta (2004) dan di Bali untuk yang kedua kalinya (2005).
Di Poso
aksi teror menyasar tempat ibadah dan fasilitas umum (2006). Selanjutnya aksi
teror terjadi di Hotel J.W. Marriot dan Ritz-Carlton (2009).
Di Aceh
warga sipil menjadi sasaran aksi teror yang dilakukan jaringan Abu Tholud
(2010). Aksi perampokan Bank CIMB Niaga di Medan juga terbukti sebagai aksi
dari kelompok teroris (9/2010).
Bom bunuh
diri di masjid Mapolres Cirebon (11/4/2011) menjadi tanda bahwa polisi juga menjadi
sasaran teror dari kelompok radikal. Di Solo terjadi penembakan dan pelemparan
granat ke beberapa pos polisi (9/2012).
Dua
anggota polisi dari Polres Poso ditemukan tewas di Hutan Tamanjeka sebagai
korban aksi teros (10/2012). Menyusul kejadian tiga anggota Brimob Sulawesi Tengah
yang ditembak di kawasan Tambarana (20/12/2012).
Aksi teror terhadap polisi terus terjadi. Anggota Polsek
Metro Gambir, Jakarta Pusat, Aipda Patah Saktiyono ditembak di Pamulang Banten
(27/7/2013). Aiptu Dwiyatno tewas ditembak oleh orang tak dikenal di Ciputat
Banten (7/8/2013). Beberapa hari kemudian, Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad
Maulana tewas ditembak di Pondok Aren Banten. Bripka Sukardi menyusul tewas ditembak di depan Gedung KPK, Kuningan,
Jakarta Selatan (10/9/2013).
Pada tahun 2014, Polisi berhasil menekan terjadinya aksi teror
dengan sejumlah penangkapan. Setelah itu aksi teror terjadi di Mall Alam Sutera
(2015). Tahun berikutnya aksi teror
terjadi di Thamrin Jakarta, Surakarta dan Tangerang, yang menjadikan polisi
sebagai sasaran teror. Sementara aksi di Medan dan Samarinda menyasar tempat
ibadah (2016).
Beberapa pelaku teror di Indonesia tenyata adalah
mantan narapidana kasus terorisme. Hal tersebut di atas tentu cukup
mengkhawatirkan dan bisa menjadi ancaman serius di Indonesia.
Dalam waktu terakhir ini, aksi teror yang dilakukan
oleh mantan narapidana kasus terorisme diantaranya adalah aksi bom Samarinda
(13/11/2016). Pelaku Jo bin Muhammad Aceng Kurnia adalah mantan
narapidana kasus terorisme yang menjalani hukuman sejak tahun 2012 dan bebas
pada tahun 2014. Sunakim (napi kasus
pelatihan militer Jalin Jantho, bebas September 2015) pelaku kemudian melakukan
aksi bom Thamrin. Selain itu ada pula Yayat Cahdiyat (napi kasus pelatihan
militer Jatho yang bebeas April 2015), pelaku aksi teror bom panci di Cicendo
Bandung Februari 2017.
Fakta yang menunjukkan mantan narapidana terorisme kembali
menjadi pelaku teror setelah bebas dari hukuman tidak berarti deradikalisasi
gagal. Banyak contoh keberhasilan program deradikalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah.
Salah satu contoh kesuksesan program deradikalisasi adalah
yang dilakukan terhadap Nasir Abas, Mantan Panglima Mantiqi III Jamaah
Islamiyah. Nasir Abas sekarang justru
membantu BNPT dan Polri.
Keberhasilan program deradikalisasi juga dirasakan oleh Khairul Ghazali, yang sekarang mendirikan pesantren di Makassar. Khairul Ghazali melalui pesantrennya mengajak para kombatan, eks kombatan, serta sanak keluarganya untuk kembali ke jalan yang benar. Keberhasilan deradikalisasi juga terjadi pada Ali Imron, Abu Tholut, Abdurrahman Ayyub, dan Yudi Zulfahri yang pernah mendekan di penjara selama 5,5 tahun karena kasus terorisme.
Jika deradikalisasi adalah melakukan
penanganan terhadap orang yang sudah mempunyai paham radikal agar menjadi tidak
radikal, maka perlu juga membuat program untuk mencegah orang terkena paham
radikal. Hal ini harus dilakukan mengingat pemain-pemain baru aksi teror muncul
dan membuat aksi yang membahayakan seperti pelaku teror di Gereja Katolik Medan
(28/8/2016).
Radikalisasi
harus dicegah dan dilawan sejak dini (kontra radikalisasi). Radikalisasi yang
dibawa melalui penyebaran narasi, propaganda dan ideologi secara langsung/tatap muka ataupun melalui
media seperti internet harus dilawan dan dihentikan.
Radikalisasi bisa dicegah dan dilawan dengan melakukan
ujaran-ujaran damai, bersikap toleran, dan menguatkan nasionalisme. Hal ini tentu
harus dilakukan secara masif dan sistematis oleh negara dan seluruh unsur
masyarakat, termasuk melalui sekolah atau lembaga pendidikan sejak dini.
Bahkan kelompok-kelompok perempuan bisa menjadi
agen kontra radikalisasi yang efektif karena peran perempuan yang besar sebagai
pendidik di keluarga. Terorisme sebagai
dampak paham radikal harus dicegah dan dilawan dengan gerakan nasional.
Melawan terorisme tidak bisa hanya diserahkan
kepada BNPT. Masyarakat secara luas bersama-sama dengan negara harus melawan
terorisme. BNPT secara kelembagaan harus lebih dikuatkan sebagai leading sector dalam penanggulangan
terorisme.
Terorisme sebagai salah satu kejahatan luar biasa
perlu ditanggani dengan luar biasa, untuk itu BNPT perlu diberi kewenangan yang
tepat dan lebih kuat. Penguatan BNPT adalah bukti kehadiran negara bersama
masyarakat dalam sebuah perlawanan terhadap terorisme.
Gerakan nasional mencegah terorisme melalui
kontra radikalisasi jika dilakukan dengan sukses akan membuat penanggulangan
terorisme menjadi lebih efektif dan efisien. Namun sebaliknya, jika paham radikal
dibiarkan tidak dicegah dan tidak dilawan bahkan diberi kesempatan hadir di
tengah masyarakat, sementara toleransi dan nasionalisme hanya menjadi slogan,
maka terorisme justru sedang dipupuk lebih subur.(***)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com