Harianmomentum.com--Pemilihan
Presiden ke-8 Indonesia masih akan dilaksanakan pada 17 April 2019 mendatang,
atau kurang lebih 11 bulan ke depan sejak artikel ini dibuat penulis, namun
“perang opini.
Perang tagar atau hashtag dan
perang propaganda” termasuk “perlombaan mengumumkan hasil survei” telah
berlangsung begitu sengitnya antara kelompok pro Presiden Joko Widodo dengan
kelompok pro Prabowo Subianto.
Kelompok nasionalis lainnya yang
berhasrat agar kedua figur utama bangsa ini bersatu bukan berkontestasi dalam
Pilpres 2019 dalam satu paket yaitu Jokowi sebagai capres dan Prabowo Subianto
sebagai cawapres kurang bergabung suaranya.
Menurut Direktur Indo Barometer,
M. Qudori jika Jokowi berpasangan dengan Prabowo Subianto maka Pilpres 2019
sudah finish alias selesai dengan ongkos ekonomi ataupun ongkos politik yang
sangat murah alias efisien.
Berdasarkan pengamatan terhadap
beberapa hasil survei terkait Pilpres 2019 yang dilakukan berbagai lembaga
survei selama periode Januari s.d April 2018 dapat diuraikan sebagai berikut : Hasil
survei Poltracking yang dilakukan 27 Januari – 3 Februari 2018 dengan
menggunakan metode stratified multistage random sampling dengan responden 1.200
orang margin of error kurang lebih 2,83% tingkat kepercayaan 95%.
Elektabilitas Joko Widodo sebesar
45 s.d 57 persen, Prabowo Subianto 20 – 33 persen. Tren dan gap elektabilitas
kedua figur ini juga tidak terlalu berbeda dengan survei Poltracking sebelumnya
(November 2017) yakni berjarak 20 – 25 persen.
Terkait kandidat Cawapres. Survei
Poltracking menunjukan ada enam figur selain wapres inkamben Jusuf Kalla yang
mempunyai elektabilitas di atas 5 persen dengan gap yang cukup signifikan
dibanding nama-nama lain, yakni Jusuf Kalla 15,9%, Agus Harimurti 12,4%, Anies
Baswedan 12,1%, Gatot Nurmantyo 11,4%, Ridwan Kamil 10,4%, Muhaimin Iskandar
7%, dan Khofifah Indar Parawansa 5,5%.
Litbang Kompas. Hasil survei
Litbang Kompas yang dilakukan pada 21 Maret 2018 s.d 1 April 2018.
Elektabilitas Presiden Joko Widodo mengalami kenaikan. Sementara elektabilitas
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengalami penurunan. Responden
memilih Joko Widodo, apabila Pilpres digelar saat ini mencapai 55,9%, angka itu
meningkat dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya, yakni 46,3%.
Sementara Prabowo Subianto
sebesar 14,1%, turun dari hasil survei enam bulan lalu, yakni 18, 2%. Penurunan
elektabilitas tidak hanya terjadi pada Prabowo Subianto, tetapi juga pada calon
potensial lainnya, yakni mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo sebesar 1,8%, yang
sebelumnya sebesar 3,3%.
Survei dilakukan menggunakan
metode tatap muka dilakukan kepada 1.200 responden dengan tingkat kepercayaan
95 persen, margin of error plus minus 2,8% dalam kondisi penarikan sampel acak
sederhana.
Cyrus Network. Hasil survei yang dilakukan Cyrus
Network yang dilakukan pada 27 Maret 2018 s.d 3 April 2018, dengan responden
sebanyak 1.230 orang yang berasal dari 123 desa/kelurahan di 34 provinsi di
Indonesia dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Metode survei menggunakan
multistage random sampling, margin of error kurang dari 3%.
Secara top of mind jika Pilpres
dilaksanakan hari ini elektabilitas Joko Widodo mencapai 58,5%, elektabilitas
Prabowo 21,8%, Gatot Nurmantyo 2,0% dan Hary Tanoesoedibjo 1,1%, belum
memutuskan 4,1%, tidak memilih 0,3% dan tidak menjawab/rahasia 1,6%.
Tidak berbeda dengan metode
pertanyaan tertutup, elektabilitas Joko Widodo sebesar 56,7%, Prabowo 19,8%,
Gatot Nurmantyo 3,2%, Hary Tanoesoedibjo 2,2%, Agus Harimurti 2,1%, belum
memutuskan 4,1%, tidak memilih 0,3% dan tidak menjawab/rahasia 1,6%.
Hasil survei yang dilakukan Media
Survei Nasional (Median) yang dilakukan pada pertengahan April 2018 dengan
responden sebanyak 1.200 orang, margin of error sebesar 2,9 persen dengan
tingkat kepercayaan 95%. Sampel dipilih secara acak dengan teknik multistage
random sampling serta proporsional atas populasi di provinsi dan gender dengan
kontrol kualitas terhadap 20% sampel yang ada.
Sebanyak 46,4% responden ingin Joko Widodo
diganti tokoh lain, jumlah tersebut lebih banyak ketimbang responden yang
memilih Joko Widodo memimpin kembali, yakni sebesar 45,22%. Ada 8,41% responden
yang memilih untuk tidak menjawab pertanyaan. Riset yang dilakukan Median,
elektabilitas Joko Widodo masih menjadi yang tertinggi dengan 36,2%.
Hasil survei nasional Indikator
Politik Indonesia (Indikator) yang dilakukan pada 25 Maret – 31 Maret 2018,
dengan responden sebanyak 1.200 orang yang memiliki hak pilih, berusia 17 tahun
atau sudah menikah. Tingkat kepercayaan survei 95 persen dengan margin of error
plus minus 2,9%. Sebanyak 39,9% memilih Joko Widodo, sementara 12,1% memilih
Prabowo.
Adapun persentase nama-nama lain
tidak mencapai 1%, ketika ditanya mengenai calon Presiden yang akan dipilih
apabila Pemilu 2019 digelar hari ini. Pada saat responden disodorkan daftar
nama- nama atau survei semi terbuka.
Sebanyak 51,9% memilih Joko
Widodo, dan 19,3% memilih Prabowo, Anies Baswedan 2,2%, Agus Harimurti 2%,
Gatot Nurmantyo 1,7%, Jusuf Kalla 1% dan yang tidak menjawab 12,7%.
Elektabilitas Joko Widodo menjadi 56,5%, Prabowo 24,2%.
Saat nama dikerucutkan menjadi 5
: Jokowi, Prabowo, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti dan Anies Baswedan,
nama-nama lainnya tidak lebih dari 5%, dan yang tidak menjawab 9,5%.
Selanjutnya saat survei dengan
simulasi 2 nama (head to head) antara Joko Widodo dan Prabowo, 60,6% memilih
Joko Widodo, 29% memilih Prabowo dan tidak memilih 10,4% PolcoMM Institute.
Hasil survei PolcoMM Institute
yang dilakukan pada 18 Maret - 21 Maret 2018. Elektabilitas Presiden Joko
Widodo unggul jauh dari para pesaingnya.
Hasil survei menunjukan siapa
yang akan dipilih responden pada Pilpres 2019 mendatang. Jokowi memperoleh
49,08%, disusul Prabowo Subianto 29,67%. Sementara itu, calon presiden lain
yakni mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo 3,50%, Gubernur NTB TGB Zainul Majdi
1,75%, Gubernur DKI Anies Baswedan 1,58% dan Komandan Satuan Tugas Bersama
(Kogasma) Pemenangan Pilkada dan Pilpres Partai Demokrat, Agus Harimurti
Yudhoyono 0,75%.
Sedangkan yang tidak menjawab
9,41%. Selain itu, jika Pilpres dilaksanakan saat survei berlangsung dengan
pertanyaan terbuka, maka Jokowi dipilih responden sebesar 51,83%, Prabowo
31,42%, Gatot Nurmantyo sebesar 3,25%, TGB Zainul 2,00%, Anies Baswedan 1,55%
dan Agus Harimurti 0,83%.
Survei dilakukan menggunakan
metode multistage random sampling dengan melibatkan 1.200 responden di 34
provinsi dan dilakukan dengan wawancara langsung secara tatap muka pada
responden dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan margin of eror sebesar
2,83%.
Hasil Survei LSI Denny JA yang
dilakukan pada 7 - 14 Januari 2018. Elektabilitas Jokowi sebagai
petahana masih tertinggi dibanding capres lainnya. Hasil survei menyebutkan
bahwa elektabilitas Jokowi saat ini mencapai 48,50%. Sementara, elektabilitas
gabungan kandidat capres pesaing Jokowi sebesar 41,20%. Sedangkan sebanyak
10,3% responden lainnya belum menentukan pilihan.
Survei dilakukan menggunakan
metode multistage random sampling dengan wawancara langsung terhadap 1.200
responden dengan margin of error plus minus 2,9%. Wawancara dilakukan serentak
di 34 provinsi.
INES. Hasil survei Indonesia Network Election
Survei (INES) yang dilakukan pada 12 s.d 28 April 2018 dengan responden 2.180
orang yang dipilih secara proporsional di 408 Kabupaten/kota di Indonesia.
Metode yang dilakukan dengan
Multistage random sampling dengan margin of error kurang lebih 2,1% dengan
tingkat kepercayaan 95%. Ketika ditanya jika Pemilu dilakukan hari ini siapa
Presiden yang akan dipilinh, Prabowo unggul 50,20%, Joko Widodo 27,70%, Gatot
Nurmantyo 7,40%, dan tokoh lain 14,70%.
Saat menggunakan pertanyaan
tertutup, Prabowo memperoleh suara diatas 54,50%, Joko Widodo 26,10%, Gatot
Nurmantyo 9,10%, dan tokoh lain 10,30%. Indo Barometer.
Hasil Survei Indo Barometer yang
dilakukan pada 23 s.d 30 Januari 2018. Menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai
calon presiden dengan elektabilitas tertinggi. Dalam simulasi 2 nama Jokowi vs
Prabowo, Jokowi unggul dengan angka 48,8%, sedangkan Prabowo berada di angka
22,3%. Sebanyak 17,2% responden belum memutuskan, 6,0% masih merahasiakan, 1,2%
tidak akan memilih, dan 4,5% tidak menjawab.
Disamping itu, Indo Barometer
melakukan survei konstelasi umum Capres 2019 dengan hasil sebagai berikut Joko
Widodo 32,7%, Prabowo Subianto 19,1%, Basuki Tjahaja Purnama 2,9%, Gatot Nurmantyo
2,7%, Anies Baswedan 2,5%, Agus Harimurti Yudhoyono 2,5%, Jusuf Kalla 2,1%,
Ridwan Kamil 1,5%, Sohibul Iman 1,0%, Hary Tanoesoedibjo 0,8%, Tito Karnavian
0,7%, Susilo Bambang Yudhoyono 0,7%, Ganjar Pranowo 0,5%, Wiranto 0,3%, Deddy
Mizwar 0,2%, Mahfud MD 0,2%, Khofifah Indar Parawansa 0,2%, Megawati
Soekarnoputri 0,2%, belum ada calon 2,0%, belum memutuskan 15,3%, rahasia 5,4%
dan tidak jawab 6,5%.
Survei dilakukan menggunakan
metode multistage random sampling dengan Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden
di 34 provinsi dengan margin of error sebesar 2,83% pada tingkat kepercayaan
95%. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka
responden menggunakan kuesioner.
Sebelumnya, menilik temuan survei
Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 2017 lalu,
Jokowi masih lemah pada segmen pemilih milenial yang hanya 31,7%. Bahkan Jokowi
kalah dari Prabowo Subianto yang mengantongi 35,7%. Karenanya, kelemahan
tersebut bisa menjadi peluang bagi penantang lain untuk dimaksimalkan sebaik
mungkin.
Secara garis besar, dapat ditarik
kesimpulan dari berbagai hasil survei diatas bahwa seperti yang dikatakan Arend
Lijphart (1968), Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori
centrifugal democracy, di mana perilaku elitenya sangat kompetitif.
Disamping
itu, besar kemungkinan bahwa pilihan responden ketika ditanya dalam survei juga
tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki responden terkait perkembangan
politik terkini, ideologi politiknya, pemberitaan di media massa bahkan gosip
atau hoax yang beredar di masyarakat. Menurut Stuart Hall dalam artikel Notes
on Deconstructing 'the Popular' (1981) bisa membantu kita untuk membaca
fenomena ini.
Bagi Hall, budaya pop seperti gosip tidak bisa
dimaknai sepenuhnya sebagai media yang mengukuhkan wacana dominan dalam
masyarakat, tapi juga arena potensial untuk melawan wacana dominan itu. Artinya
budaya pop lebih tepat dilihat dan dimaknai sebagai arena pertarungan wacana
dan ideologi yang dominan dan tersubordinasi dalam masyarakat.
Hasil survei diatas juga
menggarisbawahi, keunggulan Jokowi dikarenakan banyak inovasi dalam
pemerintahannya. Jokowi menawarkan partisipative government. Menurut Guy Peter
(2001), model ini berupaya memberikan ruang pelibatan masyarakat dalam
peningkatan kemampuan birokrasi dan pelayanan.
Langkah
ini mendobrak kebiasaan lama yang mungkin terjadi di Indonesia seperti
dikemukakan Thomas Carothers dalam Confrontating the Weakest Link : Aiding
Political Parties in New Democracies di Jurnal Carnegie Endowment in
International Peace (2006), mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai
organisasi yang sangat leader centric yang didominasi lingkaran kecil elit
politisi.
Salah
satu problem mendasar Indonesia adalah sentralitas kekuasaan yang menguat pada
pribadi, kelompok atau institusi tertentu. Wilner menyebutnya sebagai
“neopatrimonial regime”, Karl D Jackson menyebutkan “bureaucratic polity”,
William R Liddle mengistilahkan “personal rule” dan McDougall menyebutnya
“technocratic state.”
Siapa yang mengontrol netralitas lembaga survei ?
Dari berbagai hasil survei diatas, yang cukup
menarik untuk dicermati adalah hasil survei yang dilakukan oleh Indonesia
Network Election Survei (INES), sebab hasil surveinya sangat berbeda dengan
hasil lembaga survei lainnya.
Hampir mayoritas lembaga survei
memenangkan Joko Widodo, dan hanya INES yang mengunggulkan Prabowo Subianto.
Tidak heran jika menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil survei ini merupakan
“pesanan”, bagaimana kevalidan metodologinya serta siapakah sumber dana mereka
ketika melakukan survei.
Arief Budiman (Ketua Komisi
Pemilihan Umum/KPU Pusat) mengatakan, KPU mempersilakan lembaga survei yang
ingin melakukan pemantauan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 untuk mendaftarkan
diri. Hal tersebut merupakan upaya KPU dalam melakukan pengawasan terhadap
kinerja lembaga survei selama Pilkada dan Pemilu 2019 berlangsung.
Persyaratan pendaftaran lembaga
survei pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yaitu harus berbadan hukum,
mencantumkan profil lengkap lembaga, metode pelaksanaan survei, dan sumber
pendanaan.
Sementara
terkait akreditasi lembaga survei, KPU tidak memiliki kewenangan dan keahlian
untuk melakukan akreditasi, sehingga asosiasi profesi lembaga survei diharapkan
dapat melakukan akreditasi tersebut.
Sementara itu, Hasyim Asyari
(Komisioner KPU RI) mengatakan, KPU tidak dapat melakukan pembatasan terhadap
kinerja lembaga survei dan konsultan politik. Namun,
asosiasi profesi lembaga survei dan konsultan politik dapat mengawasi
profesionalitas anggotanya selama Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Pada lembaga
survei terdapat kode etik untuk menguji metodologi dan perilaku lembaga survei.
Asosiasinya harus ikut mengawasi
karena terdapat potensi calon yang akan menggunakan lembaga survey yang
merangkap konsultan politik untuk meningkatkan citra dan elektabilitas calon
tertentu. Di sisi lain, KPU juga meminta agar lembaga survei mengungkapkan
secara transparan terkait sumber dana, sehingga publik mengetahui kinerja
lembaga survei tersebut secara jelas.
Mochammad Afifuddin (Komisioner
Bawaslu RI) mengatakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta lembaga survei
terbuka soal hasil survei yang dibuatnya khususnya ada atau tidaknya
keterkaitan dengan tim sukses pihak tertentu. Sumber `karena dana yang digunakan
lembaga survei yang menjadi bagian tim pemenangan tergolong biaya kampanye.
Media massa, Medsos dan pilihan
politik. Kekuatan dan peran semakin strategis media massa, termasuk saat ini
media sosial sangat menentukan dalam menentukan arah politik di era kontemporer
saat ini.
Hal ini membenarkan media massa
tidak boleh dipandang remeh dalam membentuk landscape politik suatu negara.
Setidaknya pada 1841, Thomas Carlylle membuat pernyataan pers sebagai the
fourth estate atau cabang kekuasaan keempat, disamping eksekutif, legislatif
dan yudikatif.
Setelah itu, banyak pakar
memperhatikan kekuatan dan peran media massa. Kekuatan media massa ini
digambarkan oleh Malcolm X dengan pernyataan bahwa “the media’s the most
powerfull entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and
to make the guilty innocent, and that’s power.
Because they control the minds of
the masses”.Sedangkan, hipotesis Mutz & Reeves (2005) tentang media massa
dan kepentingan politik setidaknya menjelaskan bahwa penggambaran politik di
media massa memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan, kecenderungan untuk
menyalahkan pihak tertentu, menempatkan politik selalu negatif, maupun
sebaliknya. Sementara, Deleuze mengatakan, media bisa menjadi rizome yang
menelan habis subyektifitas politik.
William Rivers dalam “Media
Massa dan Masyarakat Modern (2003)”pada dasarnya, kondisi di dunia nyata
mempengaruhi media massa, dan ternyata keberadaan media massa juga dapat
mempengaruhi kondisi nyata dunia.
Little Jhon dalam “Theories of Human Communication”
mengatakan, informasi yang diberikan oleh media tidak selamanya benar-benar
berdasarkan fakta, media terkadang memanfaatkan kemampuan mereka sebagai
pengendali opini publik untuk menyamarkan suatu fakta yang ada dan menciptakan
fakta-fakta yang mereka ulas berkali-kali seolah merupakan fakta yang benar.
Dari situlah opini publik berubah
dan mulai terbentuk dengan keanekaragaman fakta baru yang diangkat oleh
media.Oleh karena itu, media dapat menjadi penghalang yang menutupi kebenaran.
Selanjutnya, Maxwell Mc Combs dalam bukunya Setting the
Agenda: the Mass Media and Public Oppinion. Polity Press: Cambridge (2006)
mengatakan, kemampuan mempengaruhi dan mengarahkan publik agar berpikir tentang
isu tertentu, sehingga menjadi prioritas pemikiran dan topik pembicaraan
dikenal sebagai peran penempatan agenda media.
Dari faktor ini, menghadapi Pilpres 2019, Presiden Joko
Widodo juga cukup diuntungkan, karena jika tidak ada aral melintang dan
“political force majeur”, maka Joko Widodo didukung kalangan konglomerat media
massa di Indonesia, seperti Harry Tanoesoedibjo dan Surya Paloh jelas berada
dibelakang Joko Widodo.
Mungkin pertarungan akan sengit terjadi di ranah Medsos
dengan adanya fenomena botmageddon alias membajirnya akun-akun anonim atau akun
pseudo di Medsos terutama twitter.
Disinilah penting bagi para
pendukung capres-capres yang akan maju ke Pilpres 2019 untuk membuat kontra
narasi di Medsos dalam rangka menghalau hoax yang menyerang jagoannya, dan
membangun “possitive news and chat framing on social media” untuk membangun
citra, simpati dan mobilisasi politik terhadap jagoan masing-masing. Semoga. (Oleh :
Erlangga Pratama)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com