Harianmomentum--Kita lahir di desa bahkan negara yang majemuk dengan
beraneka ragam agama profesi dan lain sebagainya sehingga kita harus bisa
menyikapi keanekaragaman tersebut dengan baik, karena sekarang ini ada beberapa
indikasi yang akan memecah belah bangsa dan negara karena ada suatu perbedaan
yang dibesar besarkan sehingga bisa menumbuhkan friksi yang akan menimbulkan
konflik.
Kondisi keberagaman ini
merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Sejarah
membuktikan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dapat terwujud karena persatuan
Rakyat Indonesia. Sebagai contoh Rusia, dalam sejarah Rusia adalah Unisoviet,
dimana mereka terpecah menjadi beberapa negara. Tapi seiring warga/masyarakatnya
dapat bersatu, kini Rusia menjadi salah satu negara yang kuat.
Kita sebagai warga negara tidak bisa
melupakan sejarah. Buat apa kita menjadi warga negara Indonesia jika tidak bisa
menjadikan negara kita menjadi maju.
Learning outcome dalam menjaga wilayah
kedaulatan NKRI, dengan luas wilayah 1,905 juta KM², dari data fakta Nusantara
7.870 pulau dan belum mempunyai nama 9.638 pulau yang harus kita jaga dan
pertahankan. Potensi kekayaan bangsa
yang sangat luar biasa, yang didominasi luasan wilayah lautan dan memiliki
1.128 etnis/suku, dengan perberbedaan agama, bahasa dan, budaya.
Indonesia merupakan negara yang
majemuk dan sangat pluralistik dan mempunyai dampak positif dan negatif yang
sangat berkesinambungan.
Harus dipahami bahwa kita
dalam berbangsa dan bernegara ada berbagai masalah dalam ideologis, persoalan
keagamaan, persoalan etnisitas/suku, persoalan ekonomi, persoalan Pemerintahan,
persoalan relasi internal dan antar agama dan persoalan relasi agama dengan
negara.
Dalam menghadapi
permasalahan permasalahan tersebut ada solusi-solusi diantaranya menjadikan
Pancasila adalah titik temu atau solusi dari problem kebangsaan Indonesia; cinta
negara sebagian dari bukti keimanan; mengutamakan isi daripada wadah; merawat
tradisi yang baik, mengambil pembaharuan yang lebih baik dan tiap manusia
memiliki pemikiran untuk melihat dan berbuat untuk kebaikan.
Dari satu sisi,
perbedaan-perbedaan yang ada dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa dimana
para penganut agama yang berbeda bisa saling menghargai atau menghormati,
saling belajar, saling menimba serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai
keagamaan dan keimanan masing-masing.
Perbedaan tidak perlu
dipertentangkan,tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding, pendorong,
bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki. Kaum beriman dan penganut agama
yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai
selalu,bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi.
Namun dalam sejarah
kehidupan umat beragama, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan
dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan. Di banyak
tempat, termasuk di Maluku, telah terjadi konflik berdarah dan berapi yang
menelan banyak korban manusia dan harta benda, serta menghancurkan sendi-sendi
kehidupan di pelbagai bidang, di lingkungan kita. Unsur-unsur keagamaan
dijadikan sebagai pemicu dan sasaran penghancuran dalam konflik tersebut.
Namun kenyataannya,
dalam perilaku atau tindakan orang-orang tertentu, entah dengan sengaja atau
tidak, agama dipakai sebagai pemicu konflik dan perpecahan.
Bahkan ada orang-orang
tertentu yang menganggap dan menjadikan agama sebagai dasar alasan untuk tidak
boleh hidup bersama atau harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun
dengan orang yang berbeda agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan
membinasakan orang-orang yang beragama lain.
Kenyataan bahwa
unsur-unsur keagamaan dijadikan sebagai pemicu serentak sasaran konflik, baik
pada tingkat lokal dan nasional maupun internasional akhir-akhir ini, tentu
memprihatinkan dan mencemaskan banyak orang, terutama bagi kita bangsa
Indonesia umumnya, yang berciri majemuk. Persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan,
perdamaian dan ketenteraman serta kebersamaan, persekutuan dan kerjasama akan
terancam, terganggu.
Disamping itu, tantangan kebangsaan
secara internal adalah, masih lemahnya nilai agama, kefanatiisme kedaerahan
yang begitu tinggi, kurang berkembangnya kebhinekaan, kurangnya keteladanan
sikap perilaku sesama, tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal.
Tantangan secara eksternal adalah campur tangan budaya asing yang terlalu
tinggi, konsep kapiltalisme yang jauh dari konsep demokrasi negara kita. Untuk
itulah, kita sebagai generasi penerus memikul dan kita dituntut merawat serta
menjaga NKRI.
Solusi
Berbicara tentang
implementasi Pancasila, semua elemen bangsa perlu belajar ke NU yang sangat
toleran dengan kemajemukan. NU mencanangkan pijakan berfikir dalam menyikapi
banyaknya konflik, merujuk Imam Syafii, pendapat kita dimungkinkan salah,
pendapat luar salah bisa dimungkinkan benar,oleh karena itu kita harus saling
menghormati karena saat ini banyak saudara saudara kita yang belum sampai
dengan ranah memahami keragaman itu. Kita harus bisa merajut kerukunan dalam
perbedaan.
Metodologi pemikiran NU
dalam menjaga kemajemukan yaitu tawassuth yaitu berada ditengah dan
moderat/menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim);
Tawazun yaitu sikap berimbang atau harmoni dalam berkhidmad demi terciptanya
keserasian hubungan antar sesama umat manusia dan antara manusia dengan Alloh
SWT; Taâdul (netral atau adil) dan toleran (tasâmuh) yaitu sikap toleran yang
berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas
budaya masyarakat.
Metodologi pemikiran NU
senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim). Inilah yang menjadi
esensi identitas untuk mencirikan paham NU dengan sekte-sekte Islam lainnya.
Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah NU membangun keimanan, pemikiran,
sikap, perilaku dan gerakan.
Prinsip yang harus
dilakukan tegas dalam akidah, damai dalam kehidupan, toleransi sesama bangsa
(Tasamuh), peduli tolong menolong (Taawun), kasih sayang (Marhamah) dan anti
radikalisme atau kekerasan. (***)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com