Harianmomentum-Delegasi Vanuatu dan Kepulauan Solomon dalam momentum Sidang Dewan HAM PBB
Sesi ke-34 di Jenewa, Swiss pada Jumat, 3 Maret 2017, kembali membuat manuver
yang provokatif.
Pernyataan Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu, Ronald
Warsal, tentang isu pelanggaran HAM di Papua dan permintaan agar ada misi
khusus PBB untuk menginvestigasi, jelas keliru dan tidak didukung dengan pengetahuan
empiris, data dan fakta terkini tentang berbagai kemajuan pembangunan di
Papua.
Karena itu, tudingan ini lebih mirip propaganda politik untuk
mendiskreditkan Indonesia dibanding solidaritas sesungguhnya sebagai bangsa
rumpun Melanesia ,serta dapat ditafsirkan sebagai dukungan politik
terhadap separatisme yang diusung oleh segelintir aktivis Papua merdeka.
Aksi tidak bersahabat ini bukan yang pertama. Dalam Sidang HAM PBB ke-25 di
Jenewa, Swiss, 4 Maret 2014, Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses menuduh
militer Indonesia bertanggungjawab atas pelanggaran HAM di Papua dan meminta
PBB untuk mengirim utusan menyelidiki dugaan tersebut.
Vanuatu dan Kepulauan Solomon juga aktif bermanuver menggunakan isu
pelanggaran HAM di Papua sebagai alat untuk menggalang dukungan dari negara
kecil lainnya seperti Nauru, Palau, Kepulauan Marshal, Tuvalu, dan Tongapada
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-71 pada 2016.
Tak hanya itu, Vanuatu dan Kepulauan Solomon juga memanfaatkan forum
Melanesian Spearhead Group (MSG) mendukung separatisme di Papua.
Provokasi politik Vanuatu dan Kepulauan Solomon menunjukan ketidakmatangan
dalam diplomasi internasional dan dapat ditafsirkan sebagai agresi atas
kedaulatan Indonesia yang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional yang berlaku.
Aksi itu menodai hubungan erat yang terjalin antara Indonesia dan negara
anggota MSG sebagaimana kesepakatanpada Januari 2014 untuk saling mendukung
kedaulatan, kesatuan dan integritas wilayah, serta mematuhi Piagam PBB untuk
tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing (non
interference). Sehingga, dapat dipahami jika negara anggota MSG seperti
Fiji dan Papua Nugini menolak untuk ikut campur dalam isu Papua, dan berbeda
haluan dengan Vanuatu dan Kepulauan Solomon.
Ironi Standar Ganda
Tidak banyak potensi strategis yang bisa diharapkan dari negara dengan
jumlah penduduk puluhan hingga ratusan ribu saja. Namun, kepentingan
solidaritas sebagai rumpun Melanesia dan mengembangkan politik luar negeri di
kawasan tentu menjadi konsideran lain dalam membangun kemitraan dengan negara
kepulauan Pasifik. Perlu diketahui, Indonesia merupakan negara terbesar
dengan11 juta penduduk Melanesia, jumlah itu melampaui total dari seluruh
populasi Melanesia di Kepulauan Pasifik.
Komitmen terhadap kawasan Kepulauan Pasifiktelah ditunjukan pemerintah
Indonesia melalui bantuan luar negeri sebesarUS$ 2 juta untuk pemulihan Vanuatu
pasca bencana badai tahun 2015.Indonesia juga menyambut baik pernyataan Menlu
Vanuatu, Meltek Sato Kilman Livtunvanusaatperingatan 60 tahun Konferensi
Asia-Afrika tahun 2015, bahwa pemerintahnyabermaksud membuka Kedutaan Besar di
Jakarta.
Sedangkan dengan Kepulauan Solomon, kerjasama ekonomi dan
perdagangan meningkatrata-rata sekitar 17,28%/tahun selama lima tahun terakhir,
dengan total volume perdagangan mencapai US$ 15,88 juta pada 2012, surplus
sekitar US$ 9,1 juta bagi Indonesia. Indonesia atas juga mendukung
didirikannya kantor Kedutaan BesarKepulauan Solomon di Jakarta
pada 2014.
Melihat hubungan diplomatik dan kerjasama yang semakin meningkat ini tentu
saja kontradiktif dengan sikap negara di kawasan kepulauan Pasifik, terutama
Vanuatu dan Kepulauan Solomon yang kerap mendiskreditkan Indonesia dengan isu
pelanggaran HAM.
Kedua negara ini secara sengaja memanipulasi solidaritas rumpun Melanesia untuk mendukung para aktivis Papua merdeka, serta mencampuri urusan domestik Indonesia.Sikap tersebut merupakan standar ganda dalam politik luar negeri mereka dan bertentangan dengan pernyataan yang sering dibuat dalam pertemuan bilateral dengan Indonesia.
Sumber: Google
George Milner Tozaka, Menlu Kepulauan Solomon di sela-sela Sidang Majelis
Umum PBB ke-71, 2016 menyatakan komitmen negaranya untuk menghormati integritas
territorial NKRI dan patuh pada Piagam PBB mengenai non interference
policy.
Begitupula Vanuatu juga telah menandatangani Development
Cooperation Agreement (DCA) dengan Indonesia tahun 2011 sebagaiframework bagi
kemitraan yang lebih stabil berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan
menghormati.Baik Vanuatu dan Kepulauan Solomon seharusnya menyadari bahwa
tudingan tidak berdasar tentang pelanggaran HAM justru akan menjadi bumerang
dan menguak ironi kondisi domestik kedua negara terbelakang itu.
Vanuatu perlufokus pada domestiknya yang carut marut dan sarat konflik politik.Sepanjang
kurun waktu lima tahun telah terjadi sembilan kali pergantian kekuasaan dari PM
Edward Natapei(2008) hingga Moana Carcasses(2013) akibat pertikaian antara
pemerintah dan oposisi.Situasi itu telah menyeret isu Papua sebagai komoditas
politik guna menarik dukungan komunitas Papua di Vanuatu.
Kepentingan domestik segelintir politisi Vanuatu telah menempatkan Papua
sebagai isu strategis, termasuk alasan dibalik dukungan Vanuatu terhadap
organisasi West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).Vanuatu
memilikimasalah domestik yang kompleks dan menuntut tanggungjawab pemerintahan,
terutama kemiskinan, korupsi, diskriminasi dan pelanggaran HAM.
Standar ganda juga ditunjukan oleh Kepulauan Solomon, PM Manasseh Sograve
yangaktif mendukung ULMWP menjadi anggota penuh MSG.Bahkan, delegasi Kepulauan
Solomon dalam Sidang Dewan HAM PBB Sessi ke-32 pada Juni 2016 telah
mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan prinsip saling menghormati dan
tidak mencampuri urusan negara masing-masing dengan mendukung International
Parliament for West Papua (IPWP), serta mengusulkan adanya investigasi
PBB atas isu pelanggaran HAM di Papua.
Pemerintahan Kepulauan Solomon melupakan fakta pelanggaran HAM dalam
konflik komunal antara penduduk Guadalkanal dengan Malaita akibat ketimpangan
pembangunan.
Masalah HAM juga terungkap dalam rekomendasi yang diungkap Pelapor Khusus
PBB,Rashida Manjoo (2012), agar pemerintah ambil peran mengatasi pelanggaran
HAM yang masif atas perempuan dan anak-anak, ketimpangan gender dan
diskriminasi terhadap akses keadilan.
PelaporKhusus PBB juga menemukan fakta mencengangkan tentang kekerasan
terhadap 64% perempuan pada rentang usia 15-49 tahun, baik kekerasan seksual
maupun fisik, serta tidak adanya regulasi yang memadai untuk menjamin akses
perlindungan HAM, terutama bagi perempuan dan anak di negara dengan penduduk
600 ribuan jiwa ini.
Perlu Tekanan Diplomatik
Dalam Hak Jawabnya, negara-negara Afrika menilai Vanuatu telah
mempolitisasi HAM, mencampuri urusan domestik dan keutuhan wilayah Indonesia
sebagai anggota PBB. Sedangkan Venezuela, ketua Gerakan Non Blok,
menyatakanbahwa setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengatasi persoalan
domestiknya, termasuk Indonesia.
Komunitas internasional menilai banyak kemajuan telah dicapai oleh
Indonesia, baik dalam pembangunan dan perlindungan HAM di Papua.
Komunitas internasional, terutama Eropa tidak akan bersimpati pada provokasi
Vanuatu dan Kepulauan Solomon.
Eropa akan memilih fokus mengatasi goncangan ekonomi dan memiliki
potensi separatisme yang tentu tidak ingin diusik oleh negara lain, seperti
Catalonia di Spanyol, Basque di Perancis dan Spanyol, Flandeers di Belgia,
Padana, Venesia, Tyrol Utara di Italia, Irlandia Utara di Inggris.
Respon tegas delegasi Indonesia terhadap manuver Vanuatu dan Kepulauan
Solomon patut diapresiasi dan harus didukungseluruh elemen di Indonesia.Perlu
langkah terpadu untuk mengcounter politisasi isu Papua di dalam dan luar
negeri.
Pemerintah perlu untuk mencermati reaksi pendukung separatisme yang akan
memanfaatkan momentum untuk menggalang opini seolah telah mendapat dukungan
internasional.
Sebagai contoh adalahTabloid Jubi yang Pemred-nya, Victor Mambror, meliput
Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, justru pemberitaanya sangat distortif
dengan opini seolah ada kesepakatan dalam komunitas internasional tentang misi
khusus PBB di Papua dan dukungan Dewan Gereja Dunia (WCC) terhadap investigasi
isu pelanggaran HAM, fakta tentang reaksi keras dari komunitas internasional
terhadap politisasi isu HAM oleh Vanuatu justru tidak diungkap.
Indonesia perlu mengevaluasi hubungan diplomatik dan kerjasama dengan
Vanuatu maupun Kepulauan Solomon, serta negara kepulauan Pasifik lainnya yang
menunjukan sikap permusuhan dan mencampuri urusan domestik Indonesia.Pemerintah
melalui Kemenlu RI perlu meminta penjelasan dari perwakilan diplomatik Vanuatu
dan Kepulauan Solomon atas provokasi dalam Sidang Dewan HAM di PBB lalu.
Opsi-opsi seperti pemanggilan perwakilan diplomatik Indonesia di kedua
negara tersebut, penurunan status hingga pembekuan hubungan diplomatik, serta
penerapan status persona non grata terhadap diplomat dari kedua negara tersebut
perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Pemerintah Indonesia tidak boleh ragu dalam menghadapi negara manapun yang
mengancam kedaulatan nasional, apalagi dari negara bermasalah seperti Vanuatu
dan Kepulauan Solomon.Rakyat Indonesiaakan mendukung sepenuhnya langkah
pemerintah menjaga integritas wilayah dan kedaulatan nasional Indonesia yang
diakui dan dilindungi hukum internasional yang berlaku. (**)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com