Harianmomentum--Operasi PT Freeport Indonesia di Papua telah menimbulkan polemik luas
dan memicu pro kontra di tengah masyarakat. Penerapan kebijakan pemerintah yang
melarang ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017 telah menjadi pukulan telak
bagi Freeport yang hingga kini belum merealisasikan kewajibannya.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pasal
170 telah mewajibkan perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya
untuk melakukan pemurnian dan pengolahan dalam waktu 5 tahun sejak UU
disahkan atau efektif Smelter selesai dibangun pada tahun 2014.
UU itu melarang ekspor bahan mentah yang digali dari bumi Indonesia. Hilirisasi
diharapkan memberi nilai tambah bagi masyarakat dengan menyerap tenaga kerja,
menjadi insentif bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara.
Sayangnya, PT. Freeport Indonesia yang merupakan PMA justru tidak taat pada
UU dan selalu mencari celah untuk menghindar dari kewajiban.
Sebenarnya itikad baik pemerintah untuk memahami kepentingan dari semua
bentuk investasi asing di Indonesia telah sangat besar. Bahkan, karena itu
akhirnya memunculkan kesan seolah pemerintah terlalu longgar dan berpotensi
melanggar aturan.
Kritik kemudian disasarkan pada kebijakan pemerintah merevisi Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa perusahaan tambang
diperbolehkan melakukan ekspor mineral mentah hingga 11 Januari 2017.
Revisi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara
Kemudian, Peraturan
Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen
ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi
Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, dianggap jalan pintas untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang
besar yang sebagian besar dikuasai asing itu, untuk dapat meneruskan produksi dan ekspor
konsentrat mentah meski belum membangun Smelter.
Menurut Maryati, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, revisi kebijakan
pada 11 Januari 2017 berpotensi bertentangan dengan UU Minerba, terutama pasal 102 dan 103 yang mewajibkan
perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan
di dalam negeri, serta pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK yang sudah berproduksi untuk
melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan
pada 2009.
Selain itu, berbagai pihak juga menilai bahwa kebijakan relaksasi sejak 2014 justru tidak
menimbulkan efek jera dan menjadi celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan
tambang besar, seperti Freeport.
Menurut perkiraan, dari sekitar 6.541 Ijin Usaha Pertambangan Mineral yang dikeluarkan pemerintah, dimana 4.019 diantaranya merupakan IUP Operasi Produksi, hanya 26 smelter yang siap beroperasi.
Pilih IUPK atau Putus KK?
Polemik mengenai status operasi PT. Freeport McMoran di Indonesia harus
segera dicarikan jalan keluar yang terbaik, terutama bagi kepentingan bangsa
dan negara Indonesia.
Selama puluhan tahun, Freeport telah mengeruk emas, perak,tembaga, dan mineral berharga lainnya dari bumi Indonesia.Freeport juga telah mendapat keuntungan berlimpah tanpa memberikan konstribusi yang signifikan.
Foto : Google
Kewenangan Freeport untuk mengeskpor konsentrat mentah membuat Indonesia
tidak memiliki akses informasi yang akurat mengenai nilai komersial
sesungguhnya dari produksi, terutama emas, perak dan tembaga.
Merujuk pada KK, sejak tahun 1967, Indonesia hanya mendapatkan royaltitembaga sebesar 3,5%, emas sebesar 1% dan perak 1 %.
Selain itu, hingga kini pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36%,
sisanya dimiliki oleh PT. Indocopper Investama 9,36%, dan saham mayoritas
dikuasai olehFreeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) sebesar 81,28%.
Padahal Freeport memiliki kewajiban divestasi saham hingga 30%, karena itu
Freeport telah mengingkari kewajiban divestasi saham sebesar 20,64 persen sebagai
konsekuensi pasal 10 Kontrak Karya II tahun 1991 yang merevisi Kontrak Karya I
tahun 1967.
Bahkan, dari sisi penerimaan negara sebagaimana dinyatakan Ignatius Jonan,
Menteri ESDM, royalti dan pajak yang dibayarkan PT. Freeport selama 25 tahun
terakhir hanya sebesar Rp. 214 Triliun (per tahun Rp 8 triliun). Nilai
ini jauh dari yang didapatkan negara dari pembayaran cukai rokok satu tahun
pada 2015 sebesar Rp. 149,5 triliun.
Hal itu sekali lagi membuktikan bahwa pendapatan negara dari operasi Freeport
tidak cukup signifikan dibandingkan dengan keuntungan Freeport.
Langkah pemerintah untuk mengatasi sengkarut usaha pertambangan, khususnya
Freeport memang tidak lepas dari kontroversi. Namun demikian, langkah tersebut
patut diapresiasi sebagai terobosan maju untuk meningkatkan kendali negara atas
sumber daya pertambangan dan mineral, serta mendongkrak pendapatan
negara.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Substansi dari perubahan kebijakan itu memang dikritik oleh sejumlah pihak,
namun hal penting yang hendak dicapai oleh perubahan kebijakan itu harus
dipahami pula sebagai jalan keluar dari kepentingan negara di satu sisi, dan
kepentingan investasi di sisi lain.
Dalam PP 1/2017, para pemegang Kontrak Karya seperti PT Freeport Indonesia,
PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), dan sebagainya, didorong mengubah status
kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, hal
itu sebagai syarat untuk memperoleh ijin mengekspor konsentrat (mineral olahan
yang belum sampai tahap pemurnian).
Perubahan KK menjadi IUPK dinilai lebih menguntungkan karena sejumlah
aspek, pertama, posisi negara lebih tinggi dibandingkan investor sehingga
kendali negara sebagai pemberi ijin lebih efektif dibandingkan KK yang
menempatkan negara dan investor sejajar.
Kedua, secara fiskal, jika dalam KK perusahaan tambang dikenakan
royalti, iuran tetap, PPh Badan, PBB dan pajak daerah yang sifatnya tetap
sepanjang waktu kontrak atau naildown, maka dalam IUPKbesarnya
pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau bersifat prevailing.
Perusahaan juga membayar retribusi daerah dan pungutan lain sesuai
kebijakan pemerintah.Khusus mengenai pembayaran royalti, pemerintah menetapkan royalti tembaga naik dari 3,5 persen
menjadi 4 persen.
Royalti emas dari 1
persen menjadi 3,75 persen dan perak dari 1 persen menjadi 3,25 persen.Ketiga, pemerintah juga mensyaratkan agar Freeport meningkatkan penggunaan barang
dan jasa dalam negeri (local content).
Ke-empat, kewajiban divestasi meningkat hingga 51% sebagai jalan bagi
pemerintah untuk meningkatkan kendalinya. Kelima, Freeport tetap dibebankan
kewajiban untuk membangun pabrik
pengolahan dan pemurnian (smelter)dalam jangka waktu 5 tahun
dimana progres pembangunan smelter akan direview setiap 6 bulan oleh
verifikator independen, dan jika progres tidak mencapai minimal 90 persen dari
rencana yang disetujui, rekomendasi ekspor akan dicabut.
Sejumlah klausul yang diajukan oleh pemerintah ini tentu merupakan opsi
yang telah diperhitungkan sebelum Freeport mengajukan perpanjangan pada tahun
2019, dua tahun sebelum masa KK habis pada tahun 2021.
Perlawanan Freeport yang mengancam untuk membawa masalah perubahan
kebijakan ini ke Arbitrase Nasional dan rencana PHK karyawan tentu saja hak
bagi PT. Freeport Indonesia yang dibawah kendali Freeport McMoran Amerika
Serikat.
Namun, hal itu justru menunjukan bahwa Freeport tidak kooperatif dan
melecehkan integritas pemerintah Indonesia. Sejak awal Freeport telah
menunda-nunda kewajiban realisasi membangun Smelter, kini Freeport mengancam
pemerintahan suatu negara yang berdaulat setelah puluhan tahun memperoleh
miliaran dollar keuntungan dari bumi Indonesia.
Karena itu, pemerintah perlu untuk mempertimbangkan opsi selain perubahan
KK menjadi IUPK, yakni pemutusan kontrak dan mengambil alih operasi Freeport.
Percaya Kemampuan Sendiri
Intimidasi sebagaimana disampaikan oleh CEO Freeport McMoran, Richard
C Adkersosn tidak bisa dianggap sebagai strategi bisnis semata. Langkah
tersebut dapat dimaknai sebagai ancaman serius terhadap otoritas negara yang
berdaulat penuh untuk membuat kebijakan bagi negaranya.
Freeport telah mendapat berbagai diskresi dan kesempatan yang diberikan
oleh pemerintah untuk menjamin operasinya di Indonesia selama puluhan tahun. Bahkan,
ketika Freeport tidak menepati kewajibannya pun, pemerintah Indonesia masih
memberikan berbagai kebijakan relaksasi guna mencegah berhentinya produksi
Freeport di Papua.
Karena itu, pemerintah tidak perlu takut untuk mengambil opsi yang lebih
tegas dengan menghentikan kerjasama dengan PT. Freeport Indonesia.
Penghentian kerjasama akan mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat
Indonesia. Hal ini tidak semata-mata eforia gelombang nasionalisme,
tetapi secara rasional karena Indonesia memiliki sumber daya manusia dan
industri nasional yang mampu mengelola operasi Freeport di Papua.
Hal ini penting untuk memastikan peranan negara secara penuh dan efektif
dalam mengelola sumber daya alam strategis, termasuk berbagai mineral penting
selain emas, perak dan tembaga yang dikandung dalam tambang Freeport.
Menurut berbagai laporan, diduga kuat bahwa ada potensi mineral yang
penting seperti uranium, bagi pengembangan energi masa depan Indonesia.
Karena itu, pengambilalihan Freeport juga merupakan langkah pengamanan energi
masa depan (energi security) bagi Indonesia.
Indonesia juga tidak perlu takut jika benar Freeport membawa masalah ini ke
Arbitrase Internasional.Langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia telah
sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara berdaulat
penuh.
Selain itu, dunia internasional juga akan terbuka matanya bahwa selama
Freeport beroperasi telah menimbulkan berbagai masalah, secara bisnis Freeport
memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang tidak fair, berkontribusi terhadap
kerusakan lingkungan dan diduga kuat berada dibalik sejumlah peristiwa yang
memicu munculnya kekerasan di Papua.
Saat ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk
menunjukan kapasitasnya dalam mewujudkan kepentingan nasional sesuai dengan
program Nawacita.
Negara hadir dalam pengelolaan sumber daya alam yang penting dan strategis
bagi kepentingan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Apapun opsi yang akan diambil oleh negara, perlu ditekankan pula
kepentingan para pekerja Indonesia yang harus diperhatikan hak dan
kesejahteraanya oleh pemerintah. Jika Freeport diambil alih, maka pekerja Freeport asal
Indonesia harus diprioritaskan untuk menduduki posisinya seperti semula.
Begitupula dengan akses masyarakat di sekitar Freeport untuk mendapatkan
manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari operasi tambang di wilayah
mereka.
Peningkatan pembangunan dan kesejahteraan harus menjadi perhatian utama
sehingga keberadaan tambang Freeport dapat menjadi berkah, bukan musibah bagi
masyarakat, bangsa dan negara. (**)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com