Harianmomentum.com--Sejumlah
pengamat membenarkan pendapat mantan Ketua MK, Mahfud MD yang menyebut, Pilkada
saat ini seperti peternakan koruptor (Harian Terbit, 20/4/2018).
Pembaca yang mengerti, akan menambahi
Pilkada langsung juga biang kerok perpecahan dalam bermasyarakat dan bernegara.
Bagi yang apatis cuma bilang “O…oo”. Para pembenci koruptor, mengumpat sumpah serapah, terhadap sistem Pilkada langsung.
Baca : http://www.harianterbit.com/m/nasional/read
/2018/04/20/96488/0/25/Pengamat-Benarkan-Pilkada-Seperti-Peternakan-Koruptor
Membaca artikel tersebut, saya teringat
ketika memimpin perwakilan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) dan WhatsApp
Group Peduli Negara-1 bersilaturahmi kepada Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, 1/2/2018.
Ketua DPR RI meresponse salah satu misi
GKI, yaitu “Mengedukasi dan Mengajak
Rakyat untuk Kembali ke UUD 45 Asli, Untuk Disempurnakan”. Beliau
mengatakan, Pilkada saat ini memiliki daya rusak yang hebat. KPK juga
berpendapat demikian, kata Bambang Soesatyo.
Masyarakat pun memiliki pendapat,
Pilkada saat ini memiliki dampak sangat buruk dalam kehidupan. Tidak saja
seperti peternakan koruptor dan perpecahan bangsa tetapi juga rusaknya moral
dan etika serta rendahnya kualitas pemimpin terpilih. Pilkada langsung saat ini
merupakan persoalan besar dan serius. Tidak cukup kita terperangah atas akibatnya.
Kita harus mencari akar permasalahan atau penyebabnya, untuk selanjutnya kita
hilangkan penyebab tersebut.
Saya berpendapat, penyebab pada
konsitusi saat ini, yaitu konstitusi hasil amandemen UUD 1945 yang telah
menghilangkan “Penjelasan” UUD 1945. Akibatnya, implementasi kedaulatan rakyat
menyimpang dari Pembukaan UUD 1945. Alasan penghilangan karena penjelasan akan
diberikan dalam Undang Undang, tidaklah tepat. “Penjelasan” pada UUD 1945 sesungguhnya menjelaskan bagaimana
terjadinya teks, suasana kebatinan dan aliran pikiran dalam penyusunan.
Cuplikan kalimat di depan, diambil dari Penjelasan
UUD 1945. Itulah yang dipikirkan dan dimaksud oleh founding fathers tentang “Negara
berkedaulatan rakyat” untuk Indonesia Merdeka yang hendak dibangun. Pada
hakikatnya “Pembukaan UUD 1945”
merupakan “Kaidah Pokok Negara yang
Fundamental” sehingga “Batang Tubuh”
pada UUD 1945 atau sekarang disebut pasal-pasal, tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai dalam ‘Pembukaan’.
Mari kita cermati UUD 1945 yang asli,
bagaimana korelasi nilai-nilai dalam Pembukaan dengan rumusan teks dalam Batang
Tubuh. Kita fokuskan pada pemilihan Presiden dan Wapres. Ps. 1 ayat (2) : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan Ps. 2
ayat (1): MPR terdiri atas
anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Ps. 1 ayat (2) dan Ps. 2 ayat (1) tersebut
mengalir ke Ps. 6 ayat (2) : Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
terbanyak. Dengan kecerdasan akademik, kita bisa merasakan adanya aliran
pemikiran yang mantik dari nilai kedaulatan rakyat dalam “Pembukaan” terus mengalir
ke Ps. 1 ayat (2) dan Ps. 2 ayat (1) serta Ps. 6 ayat (2). Atau dengan kata
lain, antara Pembukaan dengan Batang Tubuh memiliki korelasi yang erat. Hal
inilah yang dimaksudkan nilai-nilai dalam Pembukaan mendasari pasal-pasal.
Benarkah kedaulatan rakyat yang kita
miliki, sesuai sifat yang dimiliki
masyarakat Indonesia? Secara faktual, Rakernas dan Munas Parpol serta organisasi
lainnya, memakai sistem utusan sebagai perwakilan yang diberi mandat.
Kemelut Pilpres 2014 tentang “noken” di
Papua, rembug desa di berbagai daerah juga menunjukkan bahwa demokrasi yang
hidup di masyarakat Indonesia adalah sistim permusyawaratan perwakilan. Dengan
demikian, benar apa yang ditulis di dalam Penjelasan UUD 1945. Sehingga menjadi
tidak relevan jika implementasi kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung.
Seperti kita ketahui hasil amandemen UUD
1945, Pembukaan masih dipertahankan. Artinya, sistem negara kita berdasarkan
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Tetapi, nafas
dalam pasal-pasalnya tidaklah demikian. Ps.1
ayat (2) telah dirubah : “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Perubahan tersebut
diikuti penghapusan PS. 6 ayat (2) dan menambahi dengan Ps 6A ayat (1) : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Perubahan ini diperkuat dengan
penambahan Bab VIIB tentang Pemilu.
Pengalaman saya berdiskusi dengan
seorang Direktur Televisi swasta dan beberapa anggota Lemkaji MPR RI, mereka
sangat memahami dampak buruk Pilkada langsung. Tetapi tidak sependapat jika
Pilkada disebut sebagai dampak amandemen UUD 1945. Mereka mengatakan itu adanya
di undang-undang. Silahkan saja jika mau dirubah menjadi pemilihan di DPRD. Ada
juga kelompok yang tetap mendewa-dewakan demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung.
Ketika rencana revisi UU MD3 untuk
mengembalikan Pilkada berdasar atas permusyawaratan perwakilan di DPRD,
pemerintahan SBY bersikukuh Pilkada secara langsung dengan perbaikan sana sini
dengan bahasa dewa-dewi. Tetapi apa yang terjadi, toh Machfud MD masih
komentar, Pilkada saat ini seperti peternakan koruptor. Bagi yang peka dan
tidak abai atas negeri ini, akan menilai Pilkada langsung membuahkan
perpecahan, rusaknya moral dan etika serta rendahnya kualitas pemimpin.
Bagi berkehendak Pilkada langsung,
berarti masih ingin memperbaiki sistim Pilkada, walau tidak tahu entah kapan
terwujudnya. Di sisi lain, patut diduga tidak begitu risih jika koruptor
berkembang biak melalui Pilkada langsung. Dirinya juga patut diduga tidak
merasa risih dan bersalah, walau sistim tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
dalam Pembukaan UUD 1945.
Bagi yang tidak suka Pilkada seperti
peternakan koruptor, berkehendak Pilkada dilaksanakan di DPRD, dengan cara merubah
undang-undang dan tidak perlu Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan, patut
disebut ‘pecinta gado-gado’. Sebab, bagaimana mungkin negara menganut kedaulatan
rakyat atas dasar permusyawaratan perwakilan (Pilkada lewat DPRD) dan secara bersamaan juga menganut kedaulatan
rakyat yang dilakukan secara langsung (Pilpreswapres lewat Pemilu).
Bagi yang berpendapat Pilkada langsung
dan Pilpreswapres lewat Pemilu bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pembukaan
UUD 1945, sehingga berpendapat untuk “Kembali
ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan” patut dinilai dia ‘pecinta NKRI tulen’. Dia mencintai Indonesia
sehingga tidak abai, selalu waspada dan tidak merasa risih walau kewaspadaannya
disebut paranoid oleh kelompok yang bersebrangan.
Apabila kita mencintai negeri ini, dan
ingin melihat anak cucu dan cicit serta keturunan berikutnya tetap memiliki
negeri ini secara merdeka, bersatu, berdaulat, aman, tenteram, adil dan makmur,
seyogyanya marilah kita bangkit, bergerak untuk berubah agar tidak punah.
Semoga “Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk
Disempurnakan” terus menggelora, membahana dan terwujud demi NKRI. Insya
Allah, amin.(*)
Prijanto, Aster Kasad 2006-2007--Rumah
Kebangkitan Indonesia, 20 APRIL 2018
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com