Harianmomentum.com--Sekali lagi,
pelaksanaan demokrasi di Indonesia tepat jika mendapatkan apresiasi
internasional dan nasional.
Apalagi
Pilkada 2018 walaupun tidak dapat dilaksanakan secara serentak di 171 daerah,
tetap menggambarkan kinerja seluruh pemangku kepentingan Pilkada 2018 diacungi
jempol, bahkan mereka berhasil memetakan berbagai permasalahan yang diprediksi
dapat menghambat pelaksanaan Pilkada secara tepat waktu pada tanggal 27 Juni
2018 yang lalu,
Hal ini
terlihat dari adanya pemetaan potensi kemungkinan diadakannya Pemungutan Suara
Ulang (PSU) seperti yang terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara, Jawa Timur,
Riau, NTT, Kalimantan Tengah, Banten dan Sumatera Utara.
Pemetaan ini berangkat dari sejumlah
permasalahan yang belum dapat dituntaskan sebelumnya sehingga mengindikasikan
adanya pelanggaran petugas pemungutan suara dilapangan yang menimbulkan
kekecewaan pemilih di lapangan, juga secara kalkulasi sederhana PSU adalah cara
paling ampuh untuk bisa merubah komposisi perolehan suara, dengan kata lain
calon yang awalnya kalah bisa jadi pemenang atau memperoleh suara yang
tertinggi akibat pelaksanaan PSU.
Untuk itu diperlukan peran Panwas
Pilkada dengan mengeluarkan rekomendasi dan melakukan kajian guna menentukan
perlunya PSU atau tidak.
Sementara masih lambatnya hasil penghitungan
suara di wilayah Papua, disebabkan tidak ada penghitungan cepat atau quick
count. Sehingga hasil perolehan suara hanya bisa didasarkan pada penghitungan
nyata oleh KPU dan telah ditetapkan 5 Juli 2018 sebagai waktu terakhir
pengumpulan hasil rekapitulasi suara sementara.
Selain itu, faktor kondisi daerah
yang sulit dijangkau dan masalah gangguan keamanan oleh KKSB sebagai faktor
utama lambatnya penghitungan suara di Papua. Khusus di Kab. Paniai (Papua)
tertundanya pemungutan suara dikarenakan adanya pengerahan massa dalam
menyikapi Paslon yang dianggap TMS oleh KPU.
Sedangkan, pelaksanaan Pilbup
Paniai sebagai “exit strategy” menurunkan tensi politik di Paniai, namun
diproyeksikan tidak akan mudah diterima oleh Paslon manapun, sehingga
instabilitas keamanan masih terbuka kemungkinannya.
Keluarnya pernyataan sikap yang dikeluarkan
tokoh masyarakat di Kabupaten Yahukimo, Papua, guna mendesak PSU dalam Pilgub
Papua 2018 menunjukan potensi gangguan dalam pelaksanaan Pilkada di Papua masih
cukup terbuka. Tuntutan serupa tidak menutup kemungkinan juga disuarakan
pihak-pihak yang resisten terhadap pelaksanaan Pilkada untuk menyuarakan PSU di
Papua.
Sebagai layaknya kontestasi lainnya, maka adalah
fenomena wajar jika terjadi saling klaim kemenangan terjadi di Kabupaten
Sampang, Jawa Timur menunjukkan ketidakpercayaan dan kredibilitas terhadap
hasil quick count yang dilakukan lembaga survei. Untuk perlu adanya pengawasan
dari Panwaslu terhadap penghitungan real count untuk mengeliminir kesalahan
penghitungan suara.
Sementara penolakan penghitungan suara di
Kabupaten Linggau disebabkan beberapa permasalahan, antara lain; masih
ditemukan kejanggalan dalam hal penetapan DPT ganda, surat undangan yang tidak
disebar ke pemilih, kekurangan kertas surat suara, pemilih yang tidak
mendapatkan surat suara, proses perhitungan, keterlibatan ASN, hingga
pelanggaran yang bersifat administratif lainnya di 15 kecamatan.
Yang mengkhawatirkan adalah masih masifnya
ditemukan konten di Medsos yang berisi ajakan untuk meretas data KPU dan
memenangkan Paslon beragama Islam yang diduga dilakukan tim pendukung Paslon
Pilkada di Jawa Barat, walaupun konten di Medsos ini sedang didalami
kebenarannya oleh pemangku kepentingan Pilkada, termasuk aparat penegak hukum.
Meskipun demikian, adanya konten di Medsos tersebut mengindikasikan upaya
menghembuskan isu SARA masih menjadi komoditas politik kelompok oposan untuk
menciptakan instabilitas polkam di tengah pelaksanaan Pilkada. Sementara ajakan
untuk meretas data KPU lebih bertujuan mendeskreditkan KPU.
Aksi unjuk rasa pasca pemungutan suara merupakan
bentuk aspirasi masyarakat yang tidak terakomodasi sebelumnya oleh penyelenggara
Pilkada, sehingga berpotensi meningkatkan kerawanan situasi sosial dan politik
daerah jika tidak direspon sejak dini.
Menggunakan hak pilih orang lain seperti yang
terjadi di Maluku Utara dan Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, terindikasi terjadinya
upaya-upaya kecurangan oleh Tim Sukses Paslon yang dapat berdampak pada
timbulnya protes terhadap penyelenggara Pilkada. Selain itu, dapat menimbulkan
konflik pada tingkat grassroots jika tidak dilakukan penyelesaian secara hukum.
Warna warni selama pelaksanaan Pilkada 2018
adalah bunga rampai (miscellany) yang akan memperkaya pengalaman, khazanah dan
pengetahuan bagi bangsa Indonesia untuk ke depannya mempunyai tata kelola
kepemiluan yang modern, akurat, demokratis dan up to date, sehingga berbagai
permasalahan yang muncul segera dapat ditangani dengan baik, agar Pilkada
ataupun Pemilu di Indonesia benar-benar bukan sekedar proses demokrasi yang
prosedural saja, melainkan mengarah ke terciptanya demokrasi yang substansial. (Penulis:
Amril Jambak )
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com