MOMENTUM, Bandarlampung--Kejaksaan dianggap bertanggung
jawab atas kaburnya terpidana kasus korupsi di Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi
Lampung, Reza Pahlevi.
Hal itu disampaikan Akademisi Hukum Universitas Lampung
(Unila), Yusdianto, Senin (9-9-2019).
Menurut dia, bagaimanapun caranya, Kejari Bandarlampung berkewajiban mengekselusi terpidana yang telah divonis lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung itu.
“Persoalan yang bersangkutan (Reza) melarikan diri, menjadi
tugas dan kewajiban Kejari Bandarlampung untuk menangkap dan membawa yang bersangkutan
ke tahanan,” tegasnya.
Kalau pun saat ini belum diketahui keberadaan Reza, itu
menjadi tugas dan tanggung jawa kejaksaan untuk melacak keberadannya.
“Ini kan semacam kasusnya Satono (terpidana korupsi).
Karena banyak aparat hukum berkompromi terhadap kasus korupsi akhirnya
terpidananya melarikan diri dari jerat hukum,” tuturnya.
Untuk itu, dia menyayangkan tindakan kejaksaan yang sejak
awal kasus tersebut bergulir memberikan kelonggaran hukuman dengan mengalihkan
tahanan rutan ke tahanan kota terhadap Reza.
“Semestinya jaksa tidak boleh kompromi, ketika perkara
korupsi, apa lagi sudah inkrak harusnya yang bersangkutan segera dieksekusi.
Jaksa kan yang punya wewenang,” kesalnya.
Sementara Praktisi Hukum Ginda Ansori sangat menyayangkan
ada kasus korupsi yang penanganannya terkesan berbeda sehingga pada akhirnya
menyulitkan penegak hukum itu sendiri.
“Di setiap tingkatan proses itu penahanan harus tetap
dilaksanakan. Kalau setelah putusan dia terbukti, maka penegak hukum tak perlu
repot lagi untuk mengeksekusi terpidana tersebut,” kata Ginda kepada harianmomentum.com,
Minggu (8-9-2019).
Namun menurut Koordinator Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Lampung itu, penegak hukum di Lampung masih saja memberikan kelonggaran hukum kepada orang-orang yang terjerat kasus korupsi.
Buktinya, Reza Pahlevi yang terjerat kasus korupsi Disdik
Lampung belum pernah masuk ke rumah tahanan. Status dia hanya sebagai tahanan
kota, sehingga bebas berkeliaran di luar jeruji penjara.
“Karena longgar dalam tingkat satu dan duanya, sehingga
saat kasasi tidak bisa dieksekusi,” ujarnya.
Walau begitu, menurut Undang-undang yang berlaku, penahanan
merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim disetiap tingkatannya.
Namun, sambung dia, saat kejaksaan melakukan pengalihan
penahanan Reza Pahlevi dari tahanan rutan ke tahanan kota, semestinya ada
pengawasan ketat.
“Tidak semerta- merta kita menggeser dari rumah tahana ke
tahana kota tanpa adanya pengawasan,” ujarnya.
Kemudian jika Pengadilan Kembali melanjutkan status tahanan
kota kepada tersangka korupsi, menurut Ginda tetap yang bertanggung jawab
mengawasi adalah kejaksaan.
“Kalau pun dia berstatus tahanan kota, semestinya dia tidak
boleh keluar dari kota ini. Kalau sampai buron seperti ini, artinya fungsi
pengawasan kejaksaan tidak berjalan,” bebernya.
Ginda berharap, pengalaman kaburnya beberapa terpidana korupsi
di Lampung saat hendak dieksekusi dijadikan pelajaran berharga. Sehingga
mendatang kejadian serupa tak terulang lagi.
“Kedepannya penanganan kasus korupsi tidak bisa seperti penanganan maling ayam. Sudah banyak contoh kasusnya, seperti Alay,” jelasnya.
Baca juga: Terpidana Korupsi, Reza Pahlevi Buron
Diketahui, Reza merupakan terpidana kasus korupsi bantuan
perlengkapan siswa miskin pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Proyek yang dianggarkan pada 2012 tersebut disebar menjadi
93 paket untuk 13 kabupaten/kota dengan nilai anggaran Rp17 miliar.
Menariknya, terpidana yang sudah tiga kali divonis itu
tidak pernah dipenjarakan. Sejak awal kasus tersebut bergulir di 2017,
statusnya hanya tahanan kota.
Pada 14 Desember 2017 Hakim Pengadilan Negeri (PN)
Tanjungkarang menyatakan Reza terbukti bersalah.
Dia dinialai turut melakukan tindak pidana korupsi,
menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan sebagaimana diatur dalam pasal 3 junto Pasal 18 Undang-undang nomor
31 tahun 1999 tentang pemberantasan Korupsi.
Dia juga dianggap melanggar Undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Atas perbuatannya, majelis hakim menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa Reza Pahlevi dengan hukuman penjara selama satu tahun enam
bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan di Rutan Kelas I Bandarlampung.
Jaksa dalam perkara tersebut yaitu Patar Daniel P.
Pasca putusan itu, Kejari Bandarlampung tak kunjung
melakukan eksekusi. Alasannya, terpidana Reza masih mau menempuh jalur hukum
lanjutan, yaitu banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Tanjungkarang.
Selanjutnya pada 28 Februari 2018 Majelis Hakim PT
Tanjungkarang membacakan amar putusannya.
Dalam putusannya, tiga majelis hakim: H. Mochamad Hatta
(ketua) dan Muhammad Nurzaman serta Slamet Haryadi menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Tipidkor Tanjungkarang nomor 35/Pid.Sus-TPK/2017/PN Tjk
tertanggal 14 Desember 2017.
Dengan kata lain, Reza tetap dihukumi satu tahun dan enam
bulan penjara. Putusan banding dengan nomor registrasi 2/PID.SUS-TPK/2018/PT
TJK.
Pasca putusan banding, Reza tak juga dieksekusi. Alasannya
sama, terpidana itu masih mau menempuh jalur hukum lanjutan, khasasi di
Mahkamah Agung. Berkas kasasi terigistrasi ebrnomor W9.UI/2884/HK.07/VII/2018.
Bukannya terbebas dari jerat pidana, Reza malah dijatuhkan
hukuman selama lima tahun penjara oleh hakim Mahkamah Agung. Vonis hukuman
tersebut belum teregistrasi di SIPP PN Tanjungkarang.
Namun menurut Kasi Pidsus Kejari Bandarlampung Basuski
Raharjo Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman selama lima tahun terhadap terdakwa
Reza.(acw/ap)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com