MOMENTUM, Bandarlampung--Belum usai kasus korupsi yang menjerat Jiwasraya, kabar dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) mencuat ke publik. Mandat rakyat Indonesia untuk Presiden Joko Widodo yang sangat mendesak sekarang ini adalah mengungkap dan menangkap pelaku kejahatan perampokan Jiwasraya dan Asabri.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahkan menyebut angka korupsi di Asabri tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya, lantaran di atas Rp10 triliun.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan jajarannya untuk menindak para koruptor, termasuk dalam dugaan korupsi di PT Asabri (Persero). Menanggapi arahan tersebut, Mahfud langsung melakukan serangkaian langkah strategis. Salah satunya memanggil beberapa menteri antara lain Erick Thohir dan Sri Mulyani selaku Menteri BUMN dan Menteri Keuangan. Mahfud menegaskan tidak boleh toleran terhadap korupsi. Bila indikasinya kuat, maka Mahfud yang akan mengantarkan sendiri ke aparat hukum. Tidak peduli apakah ada unsur militer yang terlibat.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Arief Poyuono mengatakan, sudah saatnya Jokowi untuk konsentrasi dalam penegakan hukum.
Terlebih ditekankan pada kinerja Kejaksaan Agung yang harus bisa mengembalikan dana Jiwasraya dan Asabri yang diduga dirampok oleh Heru Hidayat, Hary Prasetyo dkk, serta menghukum semua pelaku perampokan Jiwasraya dan Asabri seberat-beratnya.
Arief yakin bahwa para perampok Jiwasraya dan Asabri mendapatkan dukungan dan perlindungan dari orang orang dekat Jokowi. Jadi dengan mandat dari rakyat, Jokowi tidak boleh ragu untuk menyikat semua orang lingkarangnya yang dekat dengan para perampok Jiwasraya dan Asabri.
"Seperti dimasukkannya Hary Prasetyo sebagai staf di KSP di bawah pimpinan Moeldoko setelah menghancurkan Jiwasraya, ini bukti kalau perampok Jiwasraya itu ada di sekitaran Kangmas Joko Widodo," imbuhnya, Sabtu (11-01-2020).
Oleh sebab itu, kata dia, Jokowi harus mengevaluasi atau mencopot Moeldoko yang pernah menempatkan Hary Prasetyo dengan alasan tidak mengetahui siapa yang bersangkutan. Padahal tahun 2018, kasus Jiwasraya sudah meledak alias sudah kesulitan membayar polis para pemegang polis.
Lalu, lanjut Arief, kasus Asabri yang dibobol hingga Rp 10 trilun, ini juga bentuk perampokan yang paling mengerikan sepanjang sejarah di era Jokowi. Jangan sampai Asabri gulung tikar dan dana prajurit TNI-Polri hilang, dan memicu kemarahan yang punya dana di Asabri.
Dia pun menyarankan, Jokowi jangan pernah menyetujui untuk menalangi gagal bayar polis Jiwasraya dengan uang negara. Jangan ikuti jejak SBY seperti menangani kasus Bank Century.
"Nah, Pak Jaksa Agung segera dan cepat tangkat Heru Prasetyo cs. Jangan ragu-ragu ya," tutup Arief.
Persoalan kasus korupsi besar yang bermunculan di awal periode kedua Presiden Joko Widodo ini tentu saja sangat menyedihkan dan menyakitkan hati rakyat. Terlebih, korupsi sudah menyentuh ke taraf yang sangat kuat.
Permasalahan dua asuransi ini bukanlah hal yang kecil karena potensi kerugian keuangan negara sangat besar dan ada hal kontraprofuktif yang terjadi dalam perusahaan BUMN tersebut. Sudah sangat lama, sekitar 5-7 tahun, dua BUMN asuransi tersebut mendapat penghargaan, namun ternyata penghargaan itu diduga hanya sebagai kamuflase kebobrokan yang terjadi di Internal. Belajar dari permasalahan Bank Century, agar jangan sampai terulang dalam kasus Jiwasraya dan Asabri yang dinyatakan tidak sanggup membayar polis nasabah.
Dalam penanganan kasus besar, Dewan Perwakilan Rakya (DPR) berencana membentuk panitia khusus (Pansus), banyak yang tidak setuju dengan rencana tersebut, karena tentu saja mengganggu upaya penyelamatan perusahaan BUMN tersebut. Aksi korporasi dan restrukturasi yang akan berlangung makin lama apabila kondisi ini dibawa ke ranah politik. Para pemangku kebijakan pada kejadian Pansus Bank Century yang pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif dan optimal. Rencana Pansus tentu bukan solusi menyelesaikan masalah tersebut, baik dari aspek hukum, keuangan, maupun regulasi.
Berbagai desakan dari masyarakat luas terkait skandal besar Jiwasraya dan Asabri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah seharusnya tidak hanya melakukan pendampingan untuk menghitung kerugian negara dalam skandal besar tersebut, akan tetapi KPK harus turun tangan membuktikan kinerja Firli Bahuri, pembuktian tersebut tentu akan menjawab keraguan masyarakat terhadap dirinya yang baru menjabat Ketua KPK 2019-2023. Kasus skandal besar korupsi ini memang sudah kewajiban lembaga penegak hukum seperti Polri, KPK, dan Kejaksaan untuk saling berkoordinasi dalam rangka mengusut tuntas skandal besar yang diduga melibatkan banyak pihak.(**)
Oleh : TW Deora. Penulis adalah pemerhati masalah Indonesia.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com